Jumat, 13 Juli 2018

GELAP SAPU JAGAT SERUPA KIAMAT

Rakyat kaum tani yang baru saja suka cita merayakan panen di ladang, seketika resah. Napas-napas penuh desah. Betapa tidak, terlebih setelah pagi hari tersiar kabar bahwa malam bakal terjadi sistem sapu jagat serupa kiamat. Dalam remang di sela kelam, jiwa siapa yang perkasa menerima kabar buruk tersebut. Semua berkelana dalam kabut, seperti kabutnya moyang dalam masa kependudukan Jepang. Kabar yang cepat terbawa angin itu entah dari mana asalnya, semua tak ada yang tahu. Yang pasti sejak pagi ini tentara Jepang tak akan lagi melatih bertaiso kepada kaum muda yang menyukai senam kesegaran jasmani Tak akan ada lagi komando 'sor araketek' sebagai riteme dalam olahraga terpimpin itu. Namun tiada penyekat tanpa celah, dalam cekam gelap pun ada setitik sinar. Karenanya semua harapan yang semula melipat gelap pun perlahan mulai berbinar. Terlebih kabar itu datangnya dari penguasa di mana sekejam atau dikatornya pun mana mungkin mau memusnakan kehidupan. Demikian pikir mereka dengan sungging senyum. "Tak perlu resah untuk semuanya, sistem ini merupakan mesin yang biuta di tengah gelap. Jadi, sebagai jalan keluarnya gunakan akal dan pikiran kita, setuju?" kata Bartolomeus, seorang tetua kampung memberikan pencerahan. Memang ia juga bisa disebut sosok politikus terpercaya di jaman pendudukan Jepang. Sosoknya yang cerdas kerap menengarai segala persoalan termasuk situasi yang tengah terjadi itu. Menurut penjelasan Kartoyo, cara terbaik untuk menyelamatkan segalanya hanya dengan cara merubah warna terang atau warna asli dengan yang gelap pekat. "Dengan cara ini saya yakin, ketika alarm datang semuanya bakal selamat!" tandasnya meyakinkan. Solusi cerdas itu seketika menyebar ke seluruh jagat negeri, terlebih bagi rakyat kaum tani yang telah memanen hasil ladangnya. Karena takut habis waktu, siang itu semua rakyat segera berbenah. Yang muda perkasa bersatu padu menggagli lobang sebagai bahan persembunyian, sementara yang lainnya mencari lumpur dan kotoran sapi. Setelah bilik-bilik mereka, lumbung padi, tempat sapi , kerbau serta hewan peliharaan lainnnya --termasuk bulu ayam , dipoles lumpur dan dilapis tahi sapi kemudian mereka semua masuk ke dalam tanah lobang galian. Demi kenyamanan dibuatlah penyamaran, yakni permukaan lobang itu ditutupi macam daun tumbuhan. Hari berangsur malam. Suasana pun gelap mencekam bagai kuburan di belantara. Betapa tidak, pengisap tembakau yang kerap menampakan warna kunang-kunang pun saat itu lenyap dibalik cerobong bambu. Tak boleh ada bisik maupun desis, kentut pun dilarang. Karena letih menyergap semua rakyat tertidur lelap semalam. Mereka bangun tengah hari dan berhamburan keluar. Ternyata warna gelap kotor itu tak mampu menangkal sapu jagat serupa kiamat itu. Buktinya, semua isi rumah, lumbung padi dan peliharaan hewan mereka semua ludes.(*)

MEMBACAH DUNIAMU DARI KUBURKU

" Mengapa" kau menangis tersedu, seperti bocah dikekang uang jajan saja. Haru biru meyaksikan keberuntungan yang seakan terlempar jauh darimu, Menatap sendu, semua pandangan kosong tanpa gerak maupun jentik, seakan beku. Demikianah tapa konyolku. Tafakur tak sampai. Keburu lunglai, segala kesal yang membuncah dalam gelas. Tanpa kopi, sehingga segala pandangan menjadi buram, tiada kunang-kunang. Yang selalu menemani ketika berjalan di pematang dan kerap hinggap di bajuku. Saat pulang mengaji. Kini tiada. Semua percikan mati dan puntung-puntung rokok basi bak bangkai terasi. Sedulur papat kelima pancer. Energi yang empat menjadi tak seimbang ketika satu tiang pemancang tak mampu jadi kendali. Arus angin, air, bumi dan api tak bersinergi karena satu tatanan runtuh. Kiamat. Selembar kain kapan melayang-layang di pusat kota. Namun tak seorang melihat fenomena alam tersebut karena mereka telah menjadi penampakan nyata. Karena sejak itulah aku ingin pulang dari kota, menempumi kampung-kampung para leluhurku yang lama kutinggalkan. Sedu sedan tangismu pun mulai mereda, kini. Ketika segala kebusukan kau lempar ke galaksi terjauh!**