Sabtu, 23 Juni 2018

Orang Manggarai "Orang Manggarai" adalah identitas yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah, bahasa, budaya, tanah-bumi, sungai-laut, dan falsafah hidup kelompok masyarakat di dan dari sebuah daerah yang terletak di ujung barat Pulau Flores - Nusa Tenggara Timur - Indonesia : "Orang Manggarai" Siapa orang Manggarai? Apakah sebutan 'orang Manggarai' hanya mengacu pada orang yang lahir, hidup, dan mati di Manggarai, dan karenanya terikat ritus serta alam Manggarai dari kelahiran sampai hidupnya setelah kematian? Apakah identitas sebagai 'orang Manggarai' bisa saja didapat karena ikatan perkawinan, karena hubungan pertalian darah, atau karena sekelompok orang "membabtisnya" sebagai orang Manggarai dalam upacara adat atau pembukuan administratif? Apakah predikat sebagai 'orang Manggarai' bisa disematkan lantaran terlahir dari orang tua yang berasal dari Manggarai dan itu berarti setiap generasi berikutnya akan mewarisi predikat yang sama? Apakah menjadi 'orang Manggarai' adalah hasil dari sebuah proses perjuangan, sebuah kerja nyata untuk memajukan sekaligus melestarikan budaya, adat, tanah-bumi, sungai-laut, falsafah hidup, dan keberlangsungan Manggarai? Atau, apakah 'orang Manggarai' adalah identitas yang dihidupi dan dihayati dalam keseharian? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan saya jawab. Manggarai dalam tema tulisan Orang Manggarai. Untuk itu, saya membagi tema ini dalam empat kelompok besar berikut: 1. Jejak Mereka di Manggarai Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama; sebuah pepatah lama. Manggarai di hari ini adalah jejak karya dari para pendahulu dan para perintis. Tidak semua dari mereka yang namanya diingat, entah itu karena mereka memang tidak ingin dipuja, atau juga karena di hari ini, kita tak punya tempat untuk masa lalu. Untuk mereka tulisan-tulisan ini didedikasikan, sebagai ungkapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Mengutip ucapan Sukarno, Presiden RI yang pertama, "bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya". 2. Ata Manggarai(orang manggarai) Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Manggarai: "ata, ata ho'o". Bila diterjemahkan secara lurus, artinya aneh: "orang, orang ini". Ungkapan itu sebenarnya adalah pujian sekaligus penghargaan atas sebuah pencapaian. Ata, ata ho'o, adalah apresiasi atas kerja keras seseorang dalam hal tertentu dalam hidupnya. Ia telah melampaui batasan, dinding ketidak-mungkinan yang dibangun oleh orang-orang disekitarnya. Ini adalah bagian yang khusus didedikasikan untuk para "pelompat batas", dibuat sebagai pengingat bagi generasi muda selanjutnya, bahwa langkas haeng ntala, uwa haeng wulang adalah sari pengalaman, bukan sekadar pepatah. 3. Enu Molas Manggarai(wanita cantik manggarai) Cantik (molas) adalah refleksi kepedulian seorang wanita terhadap sesama, pancaran jiwa tulus dari dalam yang mengalir keluar. "Molas" adalah cara hidup, sebuah 'panggilan' untuk senantiasa menunjukkan cinta dan kepedulian kepada "Nuca Lale", Sang Ibu Bumi Manggarai. Pepatah mengatakan lama mengatakan, Beauty is in the eye of the beholder, penilaian atas kecantikan seseorang terletak pada mata orang yang memandangnya. Molas Manggarai, dalam arti itu, berbeda dari pengertian cantik pada umumnya; di dalamnya ada pengertian, cinta, dan kepedulian atas jati dirinya sebagai seorang perempuan Manggarai. 4. Nara Reba Manggarai Nara= Saudara. Reba= Muda. Itu yang dipahami di sini. Bercermin dari istilah Saudara Muda yang dipakai oleh Para Saudara dari Ordo Fratrum Minorum (OFM), bahwa para frater atau biarawan yang belum mengikrarkan Kaul Kekal dan sedang menjalani masa Studi disebut Saudara Muda, bagian ini ditujukan untuk mengapresiasi karya dan perjuangan putera-putera Manggarai yang sedang berusaha mencapai tahap kedewasaannya. Bersama Enu Molas Manggarai, Saudara-Muda-Manggarai adalah penentu masa depan Manggarai. Di tangan mereka-lah, sejarah dan masa depan Manggarai akan ditulis dan diwariskan. Oleh:edho paju Mahasiswa fakultas hukum,unifersitas sultan ageng tirtayasa(UNTIRTA) jakarta. Kontributor di MARJINNEWS.COM & MARJININFO.COM

KOPI SENJA

Adakah kubisikkan di senjah yang tidak ramah pada kita, kita biarkan kopi menjadi dingin di cangkir tua itu, gerimis pun iba pada air mata di tepi pisah. Bisu mengadu, beku, kopi itu membeku, hati itu kelu. Lagu itu menjadi syahdu. Karena ku jatuh cinta pada caramu menerjemahkan luka. Sebuah bayang menari dan terjatuh pada secangkir kopi senja.  Yang Kau goreskan syair luka pada secangkir kopi lalu kau hempaskan pada senja hingga pecah berkeping. Kuselipkan rembulan pada  sajak sepekan ku, karena malam yang berlalu masih menyimpan janji yang tertunda. Seba'it puisi tentang seseorang yang duduk di bawah sinar rembulan yang menghilang dalam remang gelap. Besok akan kukembalikan rembulan dengan beberapa sketsa tentangmu agar kau tahu senjah berikutnya aku masih terduduk di awan menunggu janji itu, menunggu lamunan itu selesai agar lembar terakhir buku harian itu tergores. Aku menunggu . -Kopi senjah, tetap pahit- Aku tidak pernah membencimu luka, maaf bila syair yang kugoreskan lewat angin timur membuat sendu, tapi engkau tahu luka itu memberi lembayung di sisiku. Kita berdua tahu, kau sang kopi senjah dan aku lembayung senja. Bila aku tak lagi bergantung di matamu, maka sore esok kau hanya akan menjadi ampas. Tapi aku tetaplah senja. Aku hanya penambah nikmat indah bagi hati syahdu yang slalu merindu luka di setiap sore yang mampu aku datangi. Tidak perlu berduka,katamu. engkau tetap indah tanpaku. Bila di hari esok kau berhati syahdu terduduk di serambi, semoga kau sempatkan melihat sore hadir menyapa kopi yang mulai dingin. Kau tertunduk lesu karena malam mencuri senjamu. Lembayungmu telah disiram amat hitam, pekat menjalar tak menyisakan ruang warna tapi jangan kau salah kan syair magis agin timur.

Edho paju

Jumat, 22 Juni 2018

MAWAR POLITIK

Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu. Akrab, atau bahkan mungkin hafal dengan kalimat-kalimat sederhana yang sangat deskriptif itu? Ya, itu adalah penggalan awal baris-baris puisi Taufiq Ismail berjudul 'Karangan Bunga' yang kita pelajari sejak SMP dulu. Jika kita ingat lanjutannya —Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/ Sebab kami ikut berduka/ Bagi kakak yang ditembah mati/ Siang tadi— maka terlihat bahwa dalam puisi itu karangan bunga dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan duka cita. Termuat dalam buku 'Tirani dan Benteng' yang pertama kali terbit pada 1966, puisi tersebut lahir dari situasi politik masa itu. Kala itu, terjadi demonstrasi mahasiswa melawan pemerintah Orde Lama. Bunga, setidaknya dalam puisi itu, terasa dekat dengan dunia politik, menjadi idiom untuk mewakili sebuah sikap polos dari anak-anak yang bersimpati pada perjuangan mahasiswa. Bunga memang bisa menjadi apa saja, untuk mewakili ungkapan perasaan. Sampai-sampai, ada peribahasa yang sangat terkenal; ungkapkanlah dengan bunga. Pada Sitor Situmorang, bunga mewakili perasaan kesepian yang teramat sangat. Simak puisi pendeknya yang cukup terkenal, 'Bunga di Atas Batu': bunga di atas batu/ dibakar sepi // mengatas indera/ ia menanti // bunga di atas batu/ dibakar sepi Kelak, di kemudian hari, bunga menjelma menjadi simbol perjuangan yang "nggegirisi" pada puisi Wiji Thukul, penyair-aktivis yang hilang dalam huru-hara Reformasi 1998. Seumpama bunga/ kami adalah bunga yang tak kau kehendaki/ tumbuh…//…kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi/ kami sendiri // jika kami bunga/ engkau adalah tembok/ tapi di tubuh tembok itu telah kami tebar biji-biji/ suatu saat kami akan tumbuh bersama/ dengan keyakinan: engkau harus hancur. Imajinasi sang penyair yang ingin menghancurkan tembok dengan menebar biji yang kelak tumbuh bunga, merupakan sesuatu yang menggetarkan. Mengapa bunga? Menghancurkan tembok dengan bunga? Sungguh mengejutkan bahwa Wiji Thukul, seorang buruh yang berorganisasi dan menulis puisi, menggunakan matafora bunga sebagai sesuatu yang kelak menumbangkan tirani. Kita pun jadi ingat sebuah cerita pendek yang legendaris karya Kuntowijoyo yang ditulis pada 1968, berjudul 'Dilarang Mencintai Bunga-bunga'. Cerpen ini mengisahkan hubungan antara sang tokoh utama, seorang bocah dengan bapaknya yang mendidik dirinya dengan keras. Sang bapak selalu menunjukkan wibawanya sebagai orangtua dengan menanamkan nilai-nilai keberanian dan kekuatan seorang laki-laki kepadanya. Namun, secara ironis, sang bocah justru memperlihatkan kecenderungannya menyukai bunga-bunga, yang dianggap sebagai simbol kelemahan. Hal itu akibat dari persahabatannya dengan seorang kakek tetangga dekat rumahnya, yang mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang diajarkan sang ayah. Sang kakek gemar merawat bunga, dan bocah itu belajar darinya tentang makna kedamaian dan keindahan; bahwa selain keberanian dan kekuatan seperti yang diajarkan ayahnya di rumah, orang perlu juga mengenal nilai-nilai kelembutan dan ketenangan, yang disimbolkan dengan bunga --sesuatu yang membuat sang ayah marah. Bunga memang subversif. Ia bisa terasa mengusik, mengganggu, mengancam, dan mengintimidasi karena kekayaan makna yang bisa disampaikan olehnya. Ketika seseorang merayakan sebuah kebahagiaan atau kemenangan dalam hidupnya, lalu mendapatkan hadiah bunga, maka yang terjadi adalah sebuah kelaziman. Bunga seolah menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya. Namun, ketika ada orang yang kalah dalam sebuah pertandingan, katakanlah menjadi "pecundang", namun mendapat kiriman karangan bunga yang mengalir tiada henti, maka hal itu menjadi masalah. Bunga tiba-tiba menjadi sesuatu yang "melawan kodrat"-nya; dan itu membuat banyak orang gelisah. Masa orang yang sedang "menderita" kekalahan justru mendapat ungkapan simpati lewat bunga, ini jelas ndak benar! Pasti semua itu hanya rekayasa. Maka, timbullah berbagai spekulasi, komentar dan analisis; ada yang mengatakan bunga-bunga itu adalah rekayasa —sebenarnya pengirimnya hanya satu orang, dengan ucapan yang dibuat bermacam-macam. Bunga-bunga itu adalah sebuah "kecelakaan"; sudah telanjur dipesan untuk merayakan kemenangan, namun ternyata kekalahanlah yang didapat, maka dibuatlah seolah-olah bunga-bunga itu adalah bentuk dukungan spontan tanda simpati. Ada juga yang dengan lantang dan keras berteriak, bunga-bunga itu hanyalah pencitraan murahan. Namun, semakin orang mengomentari macam-macam soal bunga-bunga itu, justru diam-diam semakin menunjukkan bahwa orang mengakui sedemikian besar makna bunga-bunga itu. Bunga-bunga yang diam membisu itu, pasrah diterpa angin atau pun hujan, seolah-olah bicara sendiri; bicara banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apapun kata orang, faktanya, bunga-bunga terus mengalir, meluber sampai tak tertampung di tempat yang semestinya. Orang-orang bahkan rela antri untuk berfoto bersama bunga-bunga itu, atau memfoto satu per satu karangan bunga itu sendiri, lalu menyebarkannya. Sehingga, orang bisa membaca ucapan yang tertera pada tiap-tiap karangan bunga itu, yang semuanya bernada lucu-lucu. Bunga-bunga itu ternyata seolah-olah sedang menertawakan diri sendiri, menertawakan sebuah kekalahan yang memang mau diapain lagi, namanya sudah kalah…. Pada akhirnya, bunga-bunga yang dipersoalkan oleh sebagian kelompok orang itu ternyata justru pertama-tama bukan ditujukan kepada pihak penerima. Melainkan, bunga-bunga itu —kalau kita lihat fotonya satu per satu yang beredar di sosmed— sebenarnya ditujukan untuk kesenangan dan hiburan pihak pengirimnya sendiri, sebagai bentuk lucu-lucuan, main-main, dengan berbagai ucapan yang aneh-aneh; dari 'undangan pernikahan' hingga berbagai plesetan dan lawakan lainnya. Dan, hal itu pun ternyata justru semakin membuat sebagian orang, kelompok-kelompok tertentu, yang merasa terganggu, terancam, terintimidasi, semakin merasa gimanaaa…gitu. Lho, wong kalah kok malah tertawa. Bersuka ria dengan bunga-bunga. Foto-foto. Mestinya kan sedih dan menangis tersedu-sedu. Terpuruk menyesal di pojokan. Lagi-lagi, ini jelas ndak benar! Tapi, seperti kata kakek pecinta bunga sahabat sang bocah dalam cerpen Kuntowijoyo tadi, "Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. Kenapa tidak tersenyum, Cucu? Tersenyumlah. Bahkan, sesaat sebelum orang membunuhmu. Ketenangan jiwa dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan, bahkan kematian…." Ah, seandainya bunga-bunga itu sejak awal dibiarkan saja —tapi, apa mungkin? Dari aromanya saja, bunga-bunga dengan aneka warna yang indah itu kadang memang bisa meresahkan. Bunga mawar di malam Jumat misalnya, bikin bulu kuduk merinding. Bunga memang bisa menjadi apa saja, bermakna apa saja, ditafsirkan sebagai apa saja. Ya, politik bunga itu sungguh subversif. Kabar terakhir, mereka membakar bunga-bunga itu….

EDHOPAJU
MJN/JAKARTA

INDONESIA DAN NASIONALISME

Nasionalisme di Indonesia Sama seperti agama, nasionalisme diprediksikan akan lenyap sejalan dengan semakin sebuah negara menjadi modern. Menurut Ian Adams, para ilmuwan politik Amerika Serikat era 1970–1980-an mempertahankan tesis semacam ini karena mereka melihat bahwa pertama, hasrat untuk bersatu sebagai bangsa (nationalist passion) hanyalah salah satu tahap menuju sebuah negara modern yang liberal dan demokratis di mana kepentingan-kepentingan yang lebih pragmatik dan individual akan lebih mendominasi corak kehidupan masyarakat dibanding kebutuhan akan penegasan diri dalam sebuah identitas nasional (Ian Adams, Political Ideology Today, 1995: 83). Kedua, nationalist passion kalah bersaing dengan menguatnya politik identitas di mana orang mengidentifikasi diri tidak lagi dengan sebuah bangsa, tetapi dengan sebuah etnis atau agama tertentu. Tesis ini seakan menemukan kebenaran ketika satu persatu negara bagian Uni Soviet melepaskan diri dan menjadi negara merdeka berdasarkan kesamaan etnis dan agama. Ketiga, hasrat untuk bersatu sebagai bangsa kehilangan raison d’ĂȘtre ketika diterjang gelombang globalisasi. Di sini orang mempertanyakan relevansi nasionalisme ketika batas-batas wilayah negara menjadi semakin kabur dan negara-negara “terpaksa” masuk menjadi anggota dari “a borderless society” karena tuntutan atau dikte pasar bebas dan liberalisasi ekonomi (bdk I Wibowo dkk, Neoliberalisme, Cindelaras, 2003: 326–331). Dalam konteks pemikiran semacam ini, apakah nasionalisme Indonesia pun akan segera berakhir? Pertanyaan ini relevan untuk didiskusikan ketika kita akan merayakan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, ketika para pemuda Indonesia bertekad untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu, Indonesia. Tidak Cukup Hanya Hasrat Untuk Bersatu Kita belajar dari sejarah bahwa telah ada banyak sekali organisasi kepemudaan sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, sebut saja Jong Java, Jong Sumatera, Jong Selebes, Jong Ambon, dan sebagainya. Meskipun demikian, nationalist passion yang sifatnya etnis dan kedaerahan ini justru semakin melemah sejalan dengan mengentalnya kesadaran akan keindonesiaan sebagai sebuah “identitas baru” vis-a-vis pengalaman kolektif berada di bawah kekuasaan bangsa penjajah. Perjuangan organisasi-organisasi seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) di Indonesia dan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda yang eksplisit memperjuangkan kemerdekaan Indonesia jelas menunjukkan adanya kristalisasi pengalaman keindonesian ini, dengan puncaknya adalah pernyataan tekad satu bangsa, satu tanah air dan satu bangsa Indonesia. Demikianlah, pengalaman penderitaan dan diskriminasi oleh pemerintah Hindia Belanda, terutama selama tahun 1830–1870, telah melahirkan sebuah kesadaran dan pengalaman bersama sebagai masyarakat terjajah, kemudian berkembang menjadi sebuah bangsa terjajah (Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. 1993: 58-64). Karena itu, nasionalisme Indonesia adalah sebuah nasionalisme bentukan, sebuah kesadaran akan identitas bangsa sebagai hasil konstruksi karena pengalaman penderitaan dan diskriminasi oleh bangsa kolonial Belanda. Itulah nasionalisme Indonesia, yakni sebuah penegasan akan identitas diri versus kolonialisme-imperialisme. Kesadaran sebagai bangsa yang adalah hasil konstruksi atau bentukan mengandung kelemahan internal yang serius ketika kolonialisme dan imperialisme tidak lagi menjadi sebuah ancaman. Karena itu, nasionalisme kita akan ikut lenyap jika kita berhenti mengkonstruksi atau membentuknya—tanpa harus menyebutnya sebagai sebuah nasionalisme baru. Pertama, beberapa pengalaman kolektif seharusnya menjadi “roh baru” pembangkit semangat nasionalisme Indonesia. Misalnya, keberhasilan para siswa kita dalam olimpiade Fisika, Kimia, Biologi atau Matematika di tingkat regional dan internasional, keberhasilan atlet menjadi juara dunia (tinju), prestasi pemimpin kita menjadi menteri ekonomi terbaik di Asia (Dr. Sri Mulyani Indrawati) dan seterusnya. Sebaliknya, pengalaman dicemoh dan direndahkan sebagai bangsa terkorup, sarang teroris atau bangsa pengekspor asap terbesar seharusnya memicu kita untuk berubah dan tampil sebagai bangsa terpandang. Kedua, negara Indonesia sangat plural. Identifikasi sebuah kelompok etnis atau agama pada identitas kolektif sebagai bangsa hanya mungkin terjadi kalau negara mengakui, menerima, menghormati, dan menjamin hak hidup mereka. Masyarakat akan merasa lebih aman dan diterima dalam kelompok etnis atau agamanya ketika negara gagal menjamin kebebasan beragama—termasuk kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, persamaan di hadapan hukum, hak mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan sebagainya. Nasionalisme Kita Harus Bersifat Liberal Nasionalisme bisa dipraktikkan dalam sebuah sistem pemerintahan sosialis, komunis, ultranasionalis, etnis, atau liberal-demokratis. Masyarakat Indonesia yang sangat plural ini akan menjadi ancaman serius bagi nasionalisme jika negara kebangsaan yang kita bangun bersifat sosialis, ultranasionalis a la nazisme Jerman dan fasisme Italia, atau komunis. Alasannya sederhana, hak individu akan kebebasan, otonomi dan kesetaraan (equality) dalam masyarakat dirampas oleh negara dalam sistem pemerintahan sosialis, komunis, dan ultranasionalis (Ian Adams, 1995: 82). Sementara itu, nasionalisme etnis hanya akan menghasilkan sebuah sistem pemerintahan etnosentris yang anti pluralisme, anti hak-hak liberal dan demokratis warga negara sebagaimana termuat dalam pasal 28A – 28J UUD 1945. Nasionalisme etnis juga akan melahirkan praktik politik yang diwarnai oleh “diktator mayoritas” dan pembelengguan hak-hak kaum minoritas (Roger Eatwell dkk, Political Ideologies Today, 2001: 162–166). Tantangan bagi nasionalisme Indonesia ke depan adalah bagaimana kita mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang bersifat liberal-demokratis di mana hak-hak dasar setiap warga negara diakui, dihormati, dan dijamin, di mana hukum ditegakkan secara pasti dan adil, di mana negara mewujudkan kesejahteraan umum, dan sebagainya. Itulah alasan dasar tekad para pemuda 78 tahun yang lalu, yakni menjadi satu Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

Kamis, 21 Juni 2018

Drama Politik Kaum Hipokrisi yang Tak Kunjung usai.

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung,biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membencipolitik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” (Bertolt Brecht) Bertolt Brecht adalah salah seorang penyair jerman, penentang keras kediktaktoran rezim Hitler (Nazi). Dewasa ini, ada fenomena baru dikalangan generasi muda, sebuah slogan, mungkin. Para generasi muda khususnya mereka yang mengecap pendidikan diperguruan tinggi di berbagai kota besar Indonesia, oleh mereka banyak sudah wadah-wadah, organisasi, kelompok, atau komunitas diluar kampus (ekstra kampus) dibangun. Kelompok-kelompok tersebut dibangun dengan berbagai latar belakang yang berbeda, entah itu kelompok kedaerahan, keagamaan, kekeluargaan, ataupun kesukuan dan sebagainya. Didalam kelompok-kelompok kecil tersebut, tidak begitu banyak mahasiswa yang terlibat. Mereka yang terlibat, tentu juga dipengaruhi oleh berbagai banyak hal. Namun, kondisi tersebut merupakan suatu kemajuan dari upaya mengaktualisasikan dirinya didalam kehidupan mahasiswanya, tidak peduli faktor apa yang mempengaruhinya. Namun, ketika kalangan mahasiswa tersebut diajak untuk mendiskusikan soal kondisi sosial dan politik daerah terlebih soal kondisi bangsa ini, mereka justru mengatakan bahwa kelompok mereka (mahasiswa) tersebut bukan kelompok yang dibangun untuk membicarakan politik. Seolah-olah politik seperti racun yang berbahaya. Memang tidak semua dari mereka yang berjalan kaku yang terbentur dengan aturan-aturan formal kelompoknya. Jika disinggung soal sense of crisis mereka melakukan pembelaan, namun tetap saja bersikap ambigu, dan cenderung naïf. Disamping kelompok tersebut, ada kelompok-kelompok mahasiswa yang begitu getol berbicara soal politik, tetapi cukup pragmatis dan cenderung oportunis. Diluar dari kelompok-kelompok tersebut, ada kelompok independen, mereka adalah kelompok-kelompok diskusi, kelompok minoritas yang secara konsisten mempertahankan independensinya dari pengaruh kepentingan politik. Namun, kelompok tersebut tidak sedikit mengalami hambatan ataupun kendala, entah itu terbatasnya kalangan mahasiswa yang terlibat, ataupun persoalan-persoalan lain, karena mereka meletakkan nilai-nilai perjuangannya berdasarkan nilai-nilai kebersamaan (kolektif kolegial). Di hongkong, belakangan ini telah terjadi gelombang demonstrasi yang cukup besar dan konsisten. Mereka secara Konsisten memperjuangkan hak penuh terhadap proses pemilihan langsung. Pada 1998 negara Inggris menyerahkan kedaulatan hongkong terhadap Tiongkok. Hingga saat ini, masyarakat hongkong merasakan ketidaknyaman terkait demokrasi palsu yang diciptakan tiongkok. Hingga akhirnya, para masyarakat pro-demokrasi memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan turun ke jalan, melalui pemboikotan pusat-pusat perekonomian dunia. Saat ini, pasca 16 tahun reformasi, kita seolah-olah diingatkan kembali pada kediktaktoran rezim orde baru. Pada masa itu, tentu peran mahasiswa atau pun pemuda begitu besar. Gerakan-gerakan moral tersebut seolah semakin memudar. Pada 2012 terjadi gelombang demonstrasi yang cukup besar, terkait penolakan kenaikan harga bbm, gerakan tersebut cukup membekas hingga pemerintah membatalkan niatnya tersebut . Di tahun 2013, wacana kenaikan harga bbm kembali menjadi polemik, dan disambut dengan gelombang demonstrasi, namun kenaikan harga bbm tidak terbendung dan berlaku hingga saat ini. Peranan kelompok mahasiswa/pemuda tersebut patut diapresiasi, melalui gerakan-gerakan moral yang telah dibangun,ditengah arus modernisasi saat ini,tentu tidak sedikit dari mereka yang dengan sadar mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan materi. Tentu mereka adalah manusia-manusia yang sadar, bahwa perubahan tidak akan pernah terjadi, jika sekiranya mereka hanya duduk dan terbuai dengan teori-teori di ruangan kelas mereka. Tentu mereka sepakat dengan Bertolt Brecht, dan sadar bahwa kaum buruh, anak yang putus sekolah, kaum miskin kota, pedagang-pedagang kecil, para lanjut usia, dan kita, tidak akan mendapatkan perbaikan hidup yang layak jika tidak melakukan perlawanan terhadap penguasa-penguasa yang culas, yang mementingkan dirinya maupun golongannya. Belakangan ini, konstelasi politik dalam negeri mengalami pergolakan begitu tinggi. Drama politik kembali dipertontonkan oleh elit-elti politik (kaum hipokrisi). Tiada hal lain selain kekuasaan yang diperebutkan. Kontestasi politik tersebut diperankan oleh 2 kubu (kekuatan politik) dalam bentuk koalisi, ada yang menamakan dirinya Koalisi Indonesia Hebat dan yang lainnya menamakan diri Koalisi Merah Putih. Mereka menamakan koalisi yang mereka bangun begitu puitis, dan seolah-olah begitu nasionalis. Pasca pilpres 2014, kontestasi politik menjadi begitu sengit. Pilpres yang dimenangkan oleh koalisi Indonesia hebat, seakan menciptakan dendam tersendiri bagi koalisi merah putih. Mulai dari gugatan soal hasil pilpres, revisi UU MD3, hingga pengesahan RUU Pilkada, yang mengembalikan pilkada kepada DPR.Pengembalian Pilkada terhadap DPR tentu merupakan sebuah dekadensi demokrasi. Hal tersebut tentu menegaskan bahwa demokrasi yang telah dibangun, dan sedang bertumbuh telah dicederai oleh egosentris para kaum hipokrisi. Banyak reaksi penolakan yang muncul, hingga wacana untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Memang pada kenyataannya, pemilihan langsung, tidak menelan biaya yang sedikit. Banyak praktek-praktek kotor yang terjadi, entah itu politik uang, kampanye hitam, dan lainnya. Namun tidak bisa dipungkiri dengan diberlakukannya pemilihan langsung, Indonesia telah tumbuh sebagai Negara yang menjunjung tinggi demokrasi, walaupun masih dalam proses pembelajaran menuju Negara demokrasi yang dewasa. Seolah-olah gerakan reformasi yang tidak sedikit menelan korban, bahkan masih ada 13 aktivis hingga saat ini belum ditemukan dan dinyatakan hilang, seakan proses tidak mendapat perlakuan yang bijak dari para penyelenggaraNegara kita.Pengesahan RUU Pilkada telah menjadi bukti, bagaimana mereka-mereka yang haus kekuasaan rela menodai demokrasi itu sendiri. Apa yang bisa kita harapkan dari mereka?. Tentu harapan masih tetap dan akan ada, terlebih munculnya kepemimpinan populis yang diperlihatkan Jokowi, bersama koalisi Indonesia hebat, dan dengan dukungan relawan, kita tentu menaruh harapan terhadap perbaikan bangsa kedepannya. Namun, tidak mutlak dan tidak ada jaminan yang konkret dari mereka. Disatu sisi dukungan koalisi mereka melalui parlemen yang kurang memadai, di sisi lain, oknum-oknum dalam lingkaran koalisi mereka masih memiliki catatan hitam masa lalu, dan tidak menjamin bahwa mereka akan berjuang secara total demi kepentingan rakyat. Bahkan kaum hipokrisimengatakan bahwa politik itu dinamis dan fleksibel. Kita hanya bisa berharap pada gerakan-gerakan yang dibangun berdasarkan moral, berdasarkan keterpanggilan kita terhadap perbaikan nasib bangsa. Kepada para pemuda/i, mahasiswa/i, kaum cendikiawan, dan manusia-manusia Indonesia yang tetap dan masih rindu terhadap perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Kita masih memiliki hak untuk memperjuangkan hak kita.

Oleh:edho paju
Mahasiswa fakultas hukum
Unifersitas sultan agoeng tirtayasa jakarta

Rabu, 06 Juni 2018

SISTEM PERNIKAHAN ADAT MANGGARAI DAN MENELISIK "MAKNA BELIS"

Dalam beberapa versi cerita rakyat, kata Manggarai terbentuk dari bahasa Bima (NTB), yakni persenyawaan kata Manggar: Jangkar, dan Rai: lari (ini dari segi fonetis pembentukan kata). Namun ada versi lain yang menjelaskan, bahwa nama itu diberikan orang Goa dan Tallo dari Sulawesi Selatan ketika melakukan ekspansi kekuasaan ke Nuca Lale (MANGGARAI). Meski asal-usul kata itu masih simpang siur, namun sebenarnya kata “Manggarai” menunjuk pada sebuah kelompok etnik yang memiliki kesadaran dan identitas sendiri, dengan sebuah bahasa bernama Bahasa Manggarai. (Bustan: 2006, 20-21) Dari mana asal-usul orang Manggarai? Ada ragam versi berdasarkan cerita rakyat dan bukan sebuah dokumen tertulis. Misalnya, orang Kuleng pertama-tama mendiami daerah Mandosawu, kemudian menyebar ke wilayah Mano, Sita, Riwu dan Cibal. Ada juga yang menyatakan bahwa penduduk asli Manggarai bernama orang Ru’a, yakni penduduk asli keturunan Pongkor yang leluhurnya bernama Rutu dan anaknya bernama Okong. Di samping itu, disinyalir ada juga suku pendatang dari Minangkabau (Bonengkabo), Sumba, Ende. (Lawang: 1999, Jehaun: 2002). Dalam makalah ini kami akan membicarakan salah satu aspek dari kebudayaan Manggarai yakni sistem perkawinan: 2. Peran Adat Manggarai 2.1 Dasar, tujuan dan bentuk-bentuk pernikahan adat  Dasar pernikahan adat Manggarai adalah cinta laki-laki dan perempuan yang ingin dilembagakan dalam sebuah institusi yang bernama keluarga. Dalam beberapa ungkapan digambarkan bagaimana seorang laki-laki memperjuangkan cintanya untuk memperoleh si jantung hati; wa’a wae toe lelo, usang mela toe kira (demi cinta, banjirpun tak dihiraukan, hujan pembawa penyakitpun diacuhkan); bahkan demi cinta, sotor wae botol agu ata mbeko (meminta bantuan dukun untuk menggaet gadis impian). Tujuan perkawinan adat Manggarai terungkap lewat beberap ungkapan; pertama, kudut beka weki one-beka salang pe’ang, artinya untuk mendapat keturunan. Anak dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga yang terungkap lewat pernyataan, eme wakak betong asa-manga waken nipu tae, eme muntung pu’u gurung-manga wungkutn te ludung ( Bambu tua mesti mati, mesti diganti dengan bambu tunas-tunas muda). Dalam upacara Nempung atau Wagal (peresmian pernikahan secara adat), terungkap doa begini: “ ra’ok lobo sapo-renek lobo kecep, borek cala bocel-ta’i cala wa’i” (duduk berhimpun di atas tungku api, uduk berderet-deret bagai tutupan periuk, membuang air besar mengenai betis-buang air besar mengenai kaki). Artinya, doa meminta keturunan. Kedua, pernikahan adat juga bertujuan untuk menambah keeratan jalinan kekerabatan antar keluarga besar. Ketiga, perkawinan bertujuan untuk kebahagiaan pasangan yang menikah itu. Itu tersembul dari pernyataan, kudut ita le mose di’as ise wina-rona (agar suami istri hidup sejahtera). Sifat perkawinan adat Manggarai terungkap oleh ungkapan, acer nao-wase wunut (tak terpisahkan) dan wina rona paka cawi neho wuas-dole neho ajos (pernikahan itu menyatukan secara abadi). Dalam adata Manggarai terdapat tiga jenis pernikahan yakni pernikahan Cangkang atau pernikahan antar klen atau suku, pernikahan Tungku dan Cako atau pernikahan dalam klen/ intra-klen. Pernikahan cako terbagi atas dua; cako sama ase kae atau cako sama wa’u, ada pula yang disebut cako cama salang (pernikahan yang terjadi dalam lingkup kesukuan tertentu, atau dalam satu garis keturunan). Pernikahan cangkang amat bersesuaian dengan tradisi Gereja yakni suatu pernikahan yang bertujuan untuk membentuk kekerabatan baru (woe nelu agu ine ame weru), sehingga terjadi keterjalinan kekerabatan karena pernikahan dengan suku-suku lain. Sedangkan pernikahan Tungku bertujuan untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang telah terjalin dalam satu garis biologis agar tidak terputus. Ada beberapa macam tungku, pertama, tungku cu/ tungku dungka atau pernikahan antara laki-laki dari saudari dengan anak gadis saudara (cross cousin). Kedua, tungku sa’i/tungku ulu atau (pernikahan antara anak laki-laki saudari dengan anak saudar laki-laki dalam satu garis keturunan). Ketiga, istilah lain; tungku anak de due, tungku salang manga, tungku neteng nara, atau juga tungku dondot. Untuk mengetahui suatu pernikahan disebut tungku atau tidak maka diperlukan suatu penceritaan kembali suatu genealogi keluarga yang disebut turuk empo. Pernikahan tungku cu sangat dilarang oleh Keuskupan Ruteng dan Gereja Katolik pada umumnya. 2.2 Tahap-tahap dalam pernikahan adat Manggarai secara umum Pertama, Cumang Cama Koe artinya laki-laki dan perempuan bertemu di mana sang pemuda membawa tanda cinta misalnya cincin, maka ada suatu kejadian yang disebut tukar kila (tukar cincin). Pihak laki-laki (calon anak wina) menemui pihak perempuan (calon anak rona) untuk membuat pra-kesepakatan mengenai pernikahan, belis, mas kawin (paca). Bila terjadi kesepakatan, maka hubungan itu dibawa pada jenjang selanjutnya. Kedua, Weda Rewa Tuke Mbaru. Proses ini mencakup; pengikatan, masuk minta, masuk rumah permpuan membawa sirih-pinang yang dalam bahas adat disebut “pongo” atau “ ba’cepa”. Tahap ini lazim disebut “Tuke Mbaru”. Tahap ini menjadi momen peresmian pertunangan. Dalam acara pongo kedua pihak mendelegasikan pembicaraan adat pada sesorang yang disebut “Tongka/Pateng” (jubir). Juru bicara pihak wanita disebut “tongka tiba” sedangkan juru bicara pihak laki-laki disebut “ tongka tei.” Dalam proses inilah belis and paca dibicarakan. Jika terjadi kesepakatan, maka apa yang diminta pihak wanita akan dipenuhi dalam proses selanjutnya. Ketiga, Uber/ Pedeng Pante. Tahap ini ditandai dengan pemberian belis sebagian kecil sesuai dengan kemampuan anak wina. Umber ini juga disebut cehi ri’i-wuka wancang-radi ngaung (peresmian pernikahan adat karena sebagian belis sudah dibayar). Filosofi dibalik belis adalah “bom salang tuak-maik salang wae teku tedeng.” Artinya: keluarga yang baru dibentuk itu bagaikan mata air yang tidak akan berhenti seperti mengalirnya air dan bukan seperti jalan pohon enau yang “air”nya berhenti. Maksudnya; dalam perjalanan hidup mereka kelak akan membayar segala tunggakan belisnya dengan cara-cara adat yang berlaku hingga akhir hayat. Keempat, upacara podo. Upacara ini merupakan upacara menghantar (podo) pengantin ke rumah pengantin pria. Dengan ini, ia sudah menjadi anggota suku (wa’u) laki-laki dan harus megikuti tata hidup keluarga si pria (ceki). Dalam tahap ini juga pihak perempuan member “wida” kepada keluarga baru. “Wida” merujuk pada “widang” yakni pemberian perlengkapan rumah tangga dari pihak keluarga wanita misalnya kain adat, perlengkapan tidur, barang-barang dapur. Sesi pamungkas dari “podo” adalah upacara “pentang pitak”, yakni upacara pembebasan si istri dari segala keterikatannya dengan keluarga asal. Ritual yang dijalankan yakni: menginjak telur di depan rumah adat (Gendang/tembong). Ini menjadi tanda inisiasi si wanita ke dalam tatanan hidup si laki-laki. 2.3 Budaya Belis dan paca Belis/ paca itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona ( keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) yang biasanya berdasarkan atas kesepakatan pada saat pongo (ikat). Yang dimaksud seperangkat mas kawin di sini adalah seng agu paca (seng = uang; paca = hewan berupa kerbau dan kuda). Dalam bahasa adat pernikahan Manggarai, uang biasa disebut dengan menggunakan term kiasan seperti kala (daun sirih), one cikang (dalam saku), one mbaru (dalam rumah); sedangkan untuk hewan disebut dengan menggunakan term kiasan seperti peang tana (di luar rumah). Semua pembicaraan yang berkaitan dengan jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan dibicarakan pada saat pongo. Ketika itu terjadi proses tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina tentang jumlah belis. Mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan final. Kadang tidak ditemukanya kesepakatan dan apabila kesepakatan tidak ditemukan, maka acara itu ditunda lagi. Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk menyerahkan mas kawin itu pada saat acara adat yang disebut coga seng agu paca . Di mana semua hal menyangkut mas kawin yang telah dibicarakan dan diputuskan bersama (pada tahap pernikahan sebelumnya yaitu pada saat pongo) akan diserahkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Adat coga seng agu paca merupakan inti/ puncak sebagai bukti tanggung jawab keluarga laki-laki dalam melunasi belis kepada keluarga perempuan. Momen inilah yang menjadi tolak ukur sampai sejauh manakah kesiapan, kemampuan kelurga mempelai laki-laki dalam urusan pernikahan itu. Mengapa belis atau “Paca” harus “dibayarkan” dalam pernikahan adat Manggarai? Pertama-tama belis atau “paca” bukan hanya suatu penetapan melainkan suatu pengukuhan kehidupan suami istri. Ada dua unsur pokok: anak rona (penerima mas kawin) dan anak wina (pemberi mas kawin). Telah dikatakan bahwa filosofi dasarnya adalah “salang wae teku tedeng” (jalan mata air) dan bukan “salang tuak” (jalan tuak enau). Itu berarti relasi pernikahan yang akan dibentuk bukan hanya sesuatu yang bersifat temporal saja (untuk sementara waktu), melainkan relasi pernikahan itu akan berdampak pada suatu hubungan “woe nelu” atau kekerabatan yang berkelanjutan sampai pada generasi-generasi berikutnya. Belis menjadi semacam “tunggakan” yang menjadi kewajiban pihak “anak wina” kepada “pihak anak rona.” Filosofi lain yang tersembul dalam ungkapan “le Mbau teno” artinya, belis atau paca akan diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya (anak rona) sembari menanti hasi kerja suami istri. Jika terjadi “sida” (permintaan sejumlah uang atau hewan) kepada pihak anak rona, maka itu harus berdasarkan “momang” atau belaskasih si pihak pemberi belis (anak wina). Hal itu terungkap dalam peribahasa, “pase sapu-selek kope, weda rewa-tuke mbaru.” Pemberian pihak “anak rona” kepada “anak wina” berasal dari suatu konsolodasi internal keluarga mereka untuk meenanggung permintaan “anak wina” itu. Formulasi permintaan belis dalam upacara “Umber” sebelum peresmian adat misalnya; 2 ekor kerbau ditambah dengan 5 ekor kuda serta uang 40 juta. Misalnya disanggupi secara tertentu dalam; 1 ekor kerbau, 2 ekor kuda dan 1 ekor kerbau (kaba ute/ khusus untuk dimakan “lebong”). Biasanya permintaan yang tertugn sebagai “paca atau belis” harus disanggupi pada saat pengesahan pernikahan adat, yakni saat “Nempung” atau “wagal.” Namun sekalai lagi pada saat itu bukan suatu sistem “bayar tuntas” karena merujuk pada filosofi “wae teku tedeng” atau mata air abadi. Bagi pasangan yang dikukuhkan dalam pengukuhan adat dikenakan peribahasa: “du pa’ang le mai-cako agu reha lesak penong pa’ang.” (suatu pesta meriah yang melibatkan seluruh kampung). Si perempuan disanjung-sanjung dengan ritual “sendeng atau sompo.” Terbersit bahwa dalam upacara ini ada penghargaan terhadap martabat wanita dan keluarganya. Jawaban atas permintaan belis ada dua: pertama, untuk menyatakan kesanggupan atas tuntutan adat ada tuturan adat sbb: “ho’o ca libo, dumpu ca sora mata, titut nggitu deng hitu, o hae gereng sala = hanya ada satu kolam kecil, kudapati satu udang kecil, terimalah dulu, sambil mencari yang lain kemudian.” Itu berarti belis merupakan suatu kelanjutan yang menandai hubungan kekerabatan “Woe-Nelu.” Belis bukan “beli mati” melainkan suatu budaya yang melanggengkan hubungan itu. “Sida” (tuntutan adat) dari pihak peminta belis secara berkelanjutan akan meminta respon dari pihak penerima belis. Kedua, untuk memohon pengertian baik pihak wanita karena si laki-laki tidak mampu; “eme tenang laku lalo, retang nanggong du kakor lalong. Eme nuk laku kasi asi, one ritak laing, momang koe, cala di’a diang, baeng koe, cala jari tai.” Intinya memohon pengetian baik dari pihak wanita agar tuntutan adat diperlunak mengingat hidup bukan hanya hari ini, mungkin besok keluarga ini akan menjadi baik. 3. Refleksi filosofis Nilai-nilai filosofis pernikahan adat Manggarai dapat digambarkan dalam beberapa ungkapan berikut: Pertama, pernikahan mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan Yang Lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang, seperti ungkapan “saung bembang ngger eta, wake seler ngger wa”. Kedua, pernikahan bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat keturunan. Seperti suatu ungkapan seorang suami, “wua raci tuke, lebo kala ako” (: istriku sudah hamil). Ketiga, pernikahan membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan Orang Lain dan kelompok lain sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudara'an manusia seperti ungkapan “cimar neho rimang, cama rimang rana, kimpur kiwung cama lopo (persaudaraan itu ibarat lidi yang tak mudah dipatahkan, kuat seperti batang enau)” Keempat, pernikahan merupakan ruang pembentukan keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transimisi nilai budaya dan moral, seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Itu tersembul dalam ungkapan “Nai nggalis tuka Ngengga (ke'arifan dan jiwa besar)” Atau ungkapan “Mese bekek, langkas nawa” (pribadi yang bertanggung jawab dan bermoral). Ke enam, pernikahan menjadikan kebebasan manusia terlembagan dalam suatu tatana moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami. Seperti ungkapan “lopan pado olo, morin musi mai (sudah ada yang punya).”  4. Epilog: Tantangan dan peluang Apakah tantangan sekaligus peluanh yang dihadapi Gereja Katolik khususnya Dioses Ruteng berkaitan dengan pernikahan adat Manggarai? Pertama, tantangan seperti;  Nikah Tungku Cu dilarang Gereja karena tidak sesuai dengan ajaran moral iman dan menjadi halangan nikah dalam hukum Gereja.  Banyak urusan pernikahan sakramental ditunda lantaran adat belum beres padahal pengukuhan sakramental lebih penting.  Budaya “sida” atau tuntutan adat yang berlebihan dapat menjurus pda pemiskinan oleh pihak peminta belis (anak rona). Adapun peluang seperti:  Pernikahan adat merupakan suatu ruang pelestarian nilai-nilai penghargaan terhadap kemanusiaan dan sosialitas manusia yang mengandung di dalamnya juga nilai-nilai yang diakui Gereja seperti norma bahwa pernikahan itu “suci, utuh dan tak terceraikan.”  Keluarga merupakan ruang transmisi nilai moral dan kultur dan disisi lain juga menjadi “gereja domestik” untuk membentuk anak-anak dalam terang Injil.  Edho paju Mahasiswa fakultas hukum,unifersitas sultan ageng tirtayasa jakarta. Jakarta/5/18

KOPI ASIN SANG PENULIS &(kebohongan yang indah)

  KOPI ASIN SANG PENULIS &(KEBOHONGAN YANG INDAH)

Dia bertemu dengan gadis itu di sebuah pesta, gadis yang menakjubkan. Banyak pria berusaha mendekatinya. Sedangkan dia sendiri hanya seorang laki² biasa. Tak ada yang begitu menghiraukannya. Saat pesta telah usai, dia mengundang gadis itu untuk minum kopi bersamanya. Walaupun terkejut dengan undangan yang mendadak, si gadis tidak mau mengecewakannya.  Mereka berdua duduk di sebuah kedai kopi yang nyaman. Si laki² begitu gugup untuk mengatakan sesuatu, sedangkan sang gadis merasa sangat tidak nyaman. "Ayolah, cepat. Aku ingin segera pulang", kata sang gadis dalam hatinya. Tiba² si laki² berkata pada pelayan, "Tolong ambilkan saya garam. Saya ingin membubuhkan dalam kopi saya." Semua orang memandang dan melihat aneh padanya. Mukanya kontan menjadi merah, tapi ia tetap mengambil dan membubuhkan garam dalam kopi serta meminum kopinya.  Sang gadis bertanya dengan penuh rasa ingin tahu kepadanya,"Kebiasaanmu kok sangat aneh?". "Saat aku masih kecil, aku tinggal di dekat laut. Aku sangat suka ber-main² di laut, di mana aku bisa merasakan laut... asin dan pahit. Sama seperti rasa kopi ini",jawab si laki². "Sekarang, tiap kali aku minum kopi asin, aku jadi teringat akan masa kecilku, tanah kelahiranku. Aku sangat merindukan kampung halamanku, rindu kedua orangtuaku yang masih tinggal di sana", lanjutnya dengan mata berlinang. Sang gadis begitu terenyuh. Itu adalah hal sangat menyentuh hati. Perasaan yang begitu dalam dari seorang laki² yang mengungkapkan kerinduan akan kampung halamannya. Ia pasti seorang yang mencintai dan begitu peduli akan rumah dan keluarganya. Ia pasti mempunyai rasa tanggung jawab akan tempat tinggalnya. Kemudian sang gadis memulai pembicaraan, mulai bercerita tentang tempat tinggalnya yang jauh, masa kecilnya, keluarganya... Pembicaraan yang sangat menarik bagi mereka berdua. Dan itu juga merupakan awal yang indah dari kisah cinta mereka. Mereka terus menjalin hubungan. Sang gadis menyadari bahwa ia adalah laki² idaman baginya. Ia begitu toleran, baik hati, hangat, penuh perhatian... pokoknya ia adalah pria baik yang hampir saja diabaikan begitu saja. Untung saja ada kopi asin !  Cerita berlanjut seperti tiap kisah cinta yang indah: sang putri menikah dengan sang pangeran, dan mereka hidup bahagia... Dan, tiap ia membuatkan suaminya secangkir kopi, ia membubuhkan sedikit garam didalamnya, karena ia tahu itulah kesukaan suaminya.  Setelah 40 tahun berlalu, si laki² meninggal dunia. Ia meninggalkan sepucuk surat bagi istrinya:"Sayangku, maafkanlah aku. Maafkan kebohongan yang telah aku buat sepanjang hidupku. Ini adalah satu²nya kebohonganku padamu---tentang kopi asin. Kamu ingat kan saat kita pertama kali berkencan? Aku sangat gugup waktu itu. Sebenarnya aku menginginkan sedikit gula. Tapi aku malah mengatakan garam. Waktu itu aku ingin membatalkannya, tapi aku tak sanggup, maka aku biarkan saja semuanya. Aku tak pernah mengira kalau hal itu malah menjadi awal pembicaraan kita. Aku telah mencoba untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Aku telah mencobanya beberapa kali dalam hidupku, tapi aku begitu takut untuk melakukannya, karena aku telah berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun darimu... Sekarang aku sedang sekarat. Tidak ada lagi yang dapat aku khawatirkan, maka aku akan mengatakan ini padamu: Aku tidak menyukai kopi yang asin. Tapi sejak aku mengenalmu, aku selalu minum kopi yang rasanya asin sepanjang hidupku. Aku tidak pernah menyesal atas semua yang telah aku lakukan. Aku tidak pernah menyesali semuanya. Dapat berada disampingmu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Jika aku punya kesempatan untuk menjalani hidup sekali lagi, aku tetap akan berusaha mengenalmu dan menjadikanmu istriku walaupun aku harus minum kopi asin lagi."  Sambil membaca, airmatanya membasahi surat itu. Suatu hari seseorang menanyainya, "Bagaimana rasa kopi asin?", ia menjawab, "Rasanya begitu manis."..   #kopi asin sang penulis  Untuk apa mencita hal yg manis...asin..juga perlu kaan..??? 

Ep/mn

Selasa, 05 Juni 2018

PILKADA rasa OTT

KABAR operasi tangkap tangan (OTT) terhadap calon kepala daerah atau kepala daerah petahana yang berkerabat dengan pasangan calon terus membayangi rangkaian penyelenggaraan pilkada serentak  27 Juni 2018 lalu. 


Pemberitaan beberapa kasus OTT lebih menghentak ketimbang kampanye yang digelar pasangan calon. Kemunculan beberapa calon yang terjerat kasus  korupsi telah memicu polemik berkepanjangan terkait penundaan proses penegakan hukum, wacana penggantian pasangan calon, hingga usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 


Polemik muncul karena perbedaan sudut pandang antara politisi dan publik terkait praktik perang melawan korupsi di satu sisi dan hakikat pilkada di sisi lain. Sebagian politisi menganggap ada muatan politik yang bertujuan menjegal kemenangan pasangan calon dalam praktik penegakan hukum terhadap mereka. Sebaliknya, publik memandang ada muatan politis ketika politisi dan pejabat yang merangkap menjadi pengurus partai ngotot menunda penegakan hukum terhadap pasangan calon berdalih menjaga marwah dan kondusivitas pilkada. 


 Itulah sebabnya mereka mengusulkan menunda penegakan hukum hingga penghituangan suara selesai dilakukan. Di mata publik, penundaan semacam ini selain dipandang sebagai pintu darurat penyelematan kepentingan partai  juga merupakan bentuk penafian atas prinsip semua orang berkedudukan sama di muka hukum. Pilkada yang menyedot dana yang besar tidak menjadi alasan pembenar terjadinya korupsi. Alih-alih melonggarkan penegakan hukum, perang melawan korupsi harus digencarkan menjelang pilkada agar perhelatan demokrasi ini tidak dijadikan inkubator perilaku korup. 


Sayangnya tindakan melayani gejala menguat dalam menyikapi persoalan hukum yang melibatkan pasangan calon. Pandangan tadi menjadi bias bila disandingkan dengan kehendak publik yang ingin menjadikan pilkada sebagai bagian dari mekanisme memutus mata rantai korupsi demi menghadirkan pemerintahan yang bersih. Ada kehendak kuat untuk menginfuskan udara murni ke dalam saraf-saraf pemerintahan ketika pilkada digelar. 

Karena itu, harapan publik bukan menunda penegakan hukum atas pasangan calon, namun menuntut partai politik menciptakan sebuah mekanisme untuk menyeleksi dan menominasikan kandidat yang bersih dan (diyakini) bisa membersihkan pemerintahan daerah. Itulah sebabnya, alih-alih memelihara marwah dan menjaga kondusivitas pilkada, penundaan pemeriksaan terhadap pasangan calon dikhawatirkan hanya mengalihkan persoalan dan membuatnya menjadi kian rumit. 

Apa yang terjadi jika pasangan calon yang disangka melakukan tindak korupsi menang dalam pilkada kemudian terbukti secara sah dan meyakinkan di pengadilan ? Jika pasangan calon yang bermasalah menang tentu saja akan membuat partai atau gabungan partai pengusung senang karena mereka tidak kehilangan segalanya. Namun tidakkah ini benar-benar merusak marwah pilkada? Terhadap kemungkinan ini tidak bisa mempersalahkan pemilih sepenuhnya, sebab di beberapa daerah yang pasangan calonnya terlibat kasus korupsi berlangsung pula perang opini dan pembelokan wacana. 

Ada narasi yang dibangun bahwa petahana yang terjerat korupsi tidak sepenuhnya jahat, namun jebakan hukumlah yang membuat mereka harus terseret ke penjara. Ada narasi lain yang dibangun, yang kesemuanya meringankan petahana bermasalah, dan membalikannya sebagai pejuang yang tidak beruntung. Bahkan ada narasi yang terasa amat nyinyir, bahwa petahana yang terjerat OTT bukan karena berbuat salah semata, namun karena dia ketiban apes. Kemunculan narasi semacam ini sungguh aneh, namun dalam politik semua kemungkinan akan terjadi sejauh mendekatkan tujuan politisnya. 


Bahkan bila tukang tambal ban saja jika akan membeli ban baru tidak menghendaki ban bocor, namun dalam pilkada logika sederhana semacam ini terlalu sulit dipraktikan. Akar masalah Restu petinggi partai dan kesanggupan logistik menjadi wild card dalam pencalonan. Tanpa salah satu dari keduanya, sehebat apa pun seseorang tidak akan lolos menjadi pasangan calon, kecuali jika memiliki keberanian yang cukup untuk maju dari jalur perseorangan. 


Sayangnya mekanisme yang diberlakukan partai politik dalam menyeleksi dan menominasikan kandidat tidak sepenuhnya terbuka. Konstituen hanya menjadi penonton, untuk kemudian menjadi pemandu sorak ketika keputusan partai tentang pasangan calon yang diusung keluar. Padahal jika konstituen dilibatkan sejak awal, kejernihan mata partai dalam meneropong bakal calon yang potensial bermasalah akan terbantu. Pun popularitas bakal calon secara alamiah turut teruji.

 Lebih dari itu, ketika konstituen merasa ikut meloloskan pencalonan, akan sulit bagi mereka untuk tidak ikut memenangkannya. Sayangnya jalan ini tidak kunjung ditempuh partai politik. Kalaupun ada partai yang menggelar konvensi, tidak melibatkan konstituen. Entah apa alasan sebenarnya, namun boleh jadi karena sebagian partai menempatkan tokoh yang dinisbatkan sebagai ikon partai memiliki "sabda pandhita ratu". 

Inilah wajah lembut mesianisme politik yang sulit dikikis. Tidak ada proses politik yang murah. Bahkan biaya politik akan bertambah ketika prosedur dan mekanisme demokrasi dijalankan. Namun selain mahal, demokrasi pun bila dijalankan dengan benar dan transparan memiliki karakter yang dapat mencegah beroperasinya dana siluman. Kunci untuk membuka tabir beroperasinya dana siluman hanya keterbukaan dan pelibatan publik sebanyak mungkin, sebab semakin gelap jalan politik peluang terjadinya penyimpangan kian terbuka. 

Korupsi ibarat "gumpalan lemak" yang merusak organ partai. Untuk mengurangi gerakan organ partai, praktikan demokrasi internal partai, dan libatkan publik dalam mekanisme dan kerja partai. Hanya proses semacam ini yang akan membuat mesin partai bekerja optimal, termasuk dalam menyaring dan menominasikan kandidat.

Edho paju

Mahasiswa unifersistas sultan agoeng tirtayasa jakarta

Yang Kau Pinjam Dari Garuda Sambil merapatkan syal dan mendekap kertas-kertas di dada, Ryan mempercepat langkah. Cuaca makin dingin, batin Ryan dalam hati. Angin yang dinginnya menggigit menerpa wajah Ryan yang kekuningan, khas kulit orang Asia. Jalanan tampak sepi. Wajar saja, hari sudah senja dan ini sudah masuk musim gugur. Cuaca yang dingin dan berangin tidak akan membuat orang tahan berlama-lama di luar. Tapi bagi Ryan, cuaca ini sudah menjadi sesuatu yang akrab, bahkan mulai disenanginya. Mata Ryan menjelajahi jalan kecil yang dilaluinya. Lalu seperti kebiasaannya saat kebetulan pulang pada saat senja, ia mampir ke kedai kopi kecil yang ada di ujung jalan kecil itu. Kedai kopi yang sepi dan kecil. Ryan berbelok dan membuka pintu kedai kopi, suara lonceng kecil yang berdentang menyambutnya. Dan ia segera duduk di meja yang biasa ia duduki. Meja yang dekat dengan jendela yang menghadap keluar. Agak terpojok memang, tapi jauh lebih tenang daripada tempat yang lain. Ryan mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum, memanggil seorang pelayan yang tak jauh darinya. Pelayan tersebut langsung mendekatinya. “One pancake and coffee, please, (Satu porsi pancake dan kopi, tolong)” ucap Ryan sambil tersenyum. Pelayan tersebut balas tersenyum lalu mengangguk dan mencatat pesanan Ryan. Lalu pelayan itu pergi, menyiapkan pesanan. Hari itu sepi menggantung di dalam kedai kopi. Yang terdengar hanya suara kopi yang sedang diseduh, atau desis pancake dipenggorengan. Yang lainnya, senyap. Ryan membuka tas ranselnya, mengaduk dalamnya, dan akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya. Sepucuk surat yang sebenarnya sudah ia baca di kelas tadi, namun ia kembali rindu dengan tulisan indah ibunya. Ryan tersenyum, membaca ulang surat tersebut. Ibunya yang masih di Jakarta bercerita tentang adik bungsunya yang sekarang sudah mahir bersepeda, mendapat juara di kelas. Juga cerita tentang bibi-nya yang akan segera menikah. Dan pertanyaan yang sama disetiap penutup surat-suratnya. Sekali lagi Ryan tersenyum, sekaligus merasa ngilu dihatinya. Ryan menarik selembar kertas kosong dan pena. Ia mulai menulis. Membalas surat yang dikirim ibunya beberapa hari yang lalu. Ryan menulis tentang keadaannya di negeri orang ini, bagaimana kabar kuliah dan pekerjaan paruh waktunya, tentang tugas-tugas, dan kebahagiaannya atas kemajuan adiknya dan pernikahan bibi-nya. Lalu Ryan terdiam, ragu akan apa yang harus ditulisnya selanjutnya. Dan inilah, apa yang selalu ditulisnya sebagai penutup surat-surat yang dikirim untuk ibunya, “Aku belum bisa pulang dalam waktu dekat, Bu.”. Ryan terdiam. Saat Ryan hendak melipat surat yang baru saja ditulisnya, lonceng kecil tanda pengunjung datang kembali berdentang pelan. Sesaat Ryan tidak peduli, tapi saat orang yang baru masuk itu berjalan melewatinya, sekejap Ryan menoleh. Ryan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lelaki yang baru saja masuk itu, memakai batik? Lelaki itu memakai kacamata, tampak pintar dan tenang. Dan ia, berbatik! Itu yang paling penting. Ryan terus menatapnya, tidak peduli lelaki itu sadar atau tidak. Dan lelaki itu memilih untuk duduk tepat di belakang meja Ryan. Pertama Ryan beusaha tetap tenang, namun segera berbalik kearah lelaki itu untuk menyapanya. “Are you Indonesian? (Apakah kamu orang Indonesia?)” tanyanya Ryan tanpa basa-basi. Laki-laki itu terdiam sebentar, lalu senyumnya merekah lebar sambil mengangguk berkali-kali. “Orang Indonesia juga?” ia balik bertanya. Ryan mengangguk sambil tertawa. Keduanya tertawa. Sekejap kedai kopi yang tadinya sepi, mulai riuh dengan tawa mereka. “Ayo gabunglah bersamaku, aku sendirian,” ajak Ryan sambil menepuk sisi lain mejanya. Lelaki itu tertawa pelan lalu bangkit dari duduknya, bergabung bersama Ryan dimejanya. Baru mereka mau akan berbicara lagi, datang pelayan yang menantarkan pesanan Ryan. Lelaki itu mengisyaratkan bahwa ia ingin secangkir kopi, pelayan tersebut tersenyum lalu berlalu. “Omong-omong, namaku Ridho,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya, menunggu sambutan tangan Ryan. Dan Ryan cepat-cepat menjabat tangan Ridho. “Namaku Ryan,” keduanya lalu tertawa, lagi. “Sudah lama tidak bertemu dengan orang Indonesia lagi. Aku sempat kaget,” ungkap Ridho di sela tawanya. Ryan mengangguk membenarkan. “Aku juga. Tidak pernah aku bertemu orang Indonesia lain selain teman-teman sekuliahanku,” Ridho menaikkan alisnya, tertarik. “Kau mahasiswa?” tanyanya sambil melonggarkan syal yang dipakainya. “Begitulah,” jawab Ryan sambil tersenyum dan menambahkan gula dikopinya. “Kau juga mahasiswa?” Ryan balik bertanya. Ridho tersenyum. “Ya, tapi jika bersungguh-sungguh, akhir tahun ini aku akan lulus,” jawabnya. Ryan mengangguk mengerti. Sesaat keduanya diam. Yang terdengar hanya suara sendok Ryan yang membentur dinding cangkir kopinya. “Jadi, kau tidak pulang ke Indonesia? Kudengar bulan ini semua universitas meliburkan semua mahasiswanya,” Ridho kembali memancing pembicaraan. Ryan terdiam akan pertanyaan itu. Semua teman-temannya yang berasal dari Indonesia sudah pulang dari seminggu yang lalu. Tapi Ryan, ia tidak akan mau pulang. “Kau sudah lupa alamat rumahmu, ya?” itulah guyon yang selalu dilontarkan teman-temannya saat Ryan menolak untuk ikut pulang bersama mereka. Dan Ryan hanya tersenyum sebagai balasan. “Aku tidak pernah pulang ke Indonesia 2 tahun terakhir ini,” jawab Ryan saat ia sadar dari lamunannya. Seorang pelayan mendekati mereka, mengantarkan pesanan Ridho. Ridho mengucapkan terima kasih lalu pelayan itu berlalu. “2 tahun? Kerasan sekali rupanya,” canda Ridho. Keduanya tertawa. “Kenapa tidak pulang? Ini bulan yang baik untuk pulang. Lagipula cuaca akan semakin dingin.” Ridho masih penasaran. “Aku suka musim gugur,” jawaban singkat dari Ryan. Ridho tertawa kecil sambil mengaduk kopinya. “Kau pun tampaknya tidak pulang.” Ucap Ryan lalu menyeruput kopinya. “Ya, aku sedang dalam riset yang tidak bisa kutinggalkan. Lagipula awal tahun aku sudah pulang,” jawab Ridho. Ryan mengangguk. “Dimana kampungmu, Ryan?” tanya Ridho sambil mengangkat cangkir kopinya, menyeruputnya pelan. Kopi yang panas segera menetralkan suhu tubuhnya yang kedinginan. “Di Jakarta. Kampungmu dimana?” jawab Ryan sekaligus bertanya. Ridho meletakkan cangkirnya kembali sebelum menjawab. “Di Medan. Kau anak Jakarta rupanya. Tidak rindu dengan Monas?” gurau Ridho. “Aku lebih suka dengan Big Ben,” Ryan balas bergurau. Keduanya kembali tertawa. “Jakarta sudah maju sekarang,” ucap Ridho. Ryan tersenyum sinis. Maju ya…, batin Ryan dalam hati. Mau tidak mau, Ryan melempar kembali ingatannya akan masa lalunya di Jakarta. Masa-masa kelam yang tiap kali ia kenang akan membuat ngilu hatinya. Dulu Ryan hidup susah. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju, dan ayahnya tukang judi. Walau pun tukang judi, ayahnya tidak pernah marah-marah di rumah. Hanya tak bicara. Dulu Ryan terpaksa ikut kerja kecil-kecilan agar meringankan ibunya untuk membayar uang sekolahnya yang mahal. Walau pun hidup miskin, Ryan tidak malu belajar di sekolah yang sama dengan banyak anak-anak orang kaya. Walaupun sebagian besar anak-anak itu mengejeknya, Ryan tetap tidak peduli. Ryan ingat saat ayahnya meninggal, waktu itu umurnya baru 13 tahun. Ibunya terpaksa kerja keras. Ditambah lagi saat itu Ryan sudah mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Hidupnya benar-benar susah. Ryan sedih tiap kali mengingat saat ibunya dilecehkan dan diejek karena bekerja sebagai tukang cuci. Tapi akhirnya Ryan lulus sekolah menjadi anak yang berprestasi. Ia memang tidak pintar. Tapi keuletannya berbuah manis. Ia lulus beasiswa bersekolah di Inggris. Dan sinilah ia sekarang, duduk di kedai kopi yang terletak di seluk beluk kota London, termenung mengorek kembali pedihnya masa lalu. Ryan memotong pancake-nya dengan garpu lalu berkata, “Aku tidak akan pulang. Ibuku dan adik-adikku akan aku bawa ke London. Aku akan bekerja di sini. Mengganti kewarnegaraanku dan keluargaku.” Ridho terdiam mendengarnya. Ryan dengan santainya mengangkat wajah sambil tersenyum, itu memang rencananya saat sudah lulus kuliah nanti. Ridho tertawa pelan. “Kau punya masa lalu yang buruk rupanya,” ucap Ridho sambil mengaduk pelan kopinya. Ryan tersentak mendengarnya. “Bagaimana aku tahu? Aku sudah menetap di Inggris selama 4 tahun. Aku bertemu dengan banyak orang dari banyak Negara. Tapi jujur saja, hanya orang-orang Indonesia yang mempunyai rencana yang sama denganmu. Mereka membenci Negara mereka sendiri. Aku pun sebenarnya juga punya masa lalu yang buruk, tapi aku sudah berdamai dengan masa lalu. Aku harus mengembalikan apa yang sudah aku pinjam.” Sambung Ridho. “Yang kau pinjam?” ulang Ryan bingung. “Kau pun meminjam hal yang sama,” ucap Ridho sambil tersenyum. “Aku tidak mengerti,” jawab Ryan. Ridho menyandarkan punggungnya disandaran kursi sambil terus tersenyum. “Wajar kau tak mengerti,” ucapnya. “Apa yang kita pinjam, adalah sayap Garuda. Kita sudah sampai di sini. Saat ini, memang kita di sini. Tapi suka dan duka kita alami di Indonesia. Kita ada di sini karena dasar yang kita dapat di sana. Ini hanya batu lompatan. Indonesia tetap rumah kita, dan kita harus mengembalikan sayap yang sudah kita pinjam. Kita bangun negeri kita, dan kita bantu anak-anak penerus kita agar bisa meminjam apa yang sudah kita pinjam.” Jelas Ridho. Ryan terdiam. Diam yang panjang. Tiba-tiba dering telefon berbunyi nyaring. Menyentak Ryan dan seluruh pikirannya. Ridho merogoh kantung celananya, dan terkejut. “Oh, aku terlambat untuk rapat riset-ku. Aku harus pergi sekarang,” ucapnya lalu segera meneguk habis kopinya yang sudah mendingin. Ia lalu bangkit dari duduknya, Ryan ikut bangkit. “Kau akan menangis melihat senyum rindu Ibu Pertiwi diwajah ibu-mu,” bisik Ridho. Tiba-tiba hati Ryan meleleh, mengingat senyum ibunya yang begitu teduh dan penuh sayang. Ridho menyodori Ryan selembar kartu nama. “Hubungi aku kapan saja. Senang bertemu denganmu, Ryan.” Lalu keduanya berjabat tangan. Sosok Ridho lalu berjalan keluar kedai setelah membayar tagihannya. Tinggal Ryan sendiri dengan sepiring pancake dan setengah cangkir kopinya. Ryan merogoh kantung celananya, mengeluarkan telefon genggamnya, menekan nomor telfon maskapai penerbangan. “Hello, is there any ticket to Indonesia tonight? (Hallo, apakah ada tiket untuk ke Indonesia malam ini?)” Edhopaju MJN.jakarta

Yang Kau Pinjam Dari Garuda

Sambil merapatkan syal dan mendekap kertas-kertas di dada, Ryan mempercepat langkah. Cuaca makin dingin, batin Ryan dalam hati. Angin yang dinginnya menggigit menerpa wajah Ryan yang kekuningan, khas kulit orang Asia. Jalanan tampak sepi. Wajar saja, hari sudah senja dan ini sudah masuk musim gugur. Cuaca yang dingin dan berangin tidak akan membuat orang tahan berlama-lama di luar. Tapi bagi Ryan, cuaca ini sudah menjadi sesuatu yang akrab, bahkan mulai disenanginya.

Mata Ryan menjelajahi jalan kecil yang dilaluinya. Lalu seperti kebiasaannya saat kebetulan pulang pada saat senja, ia mampir ke kedai kopi kecil yang ada di ujung jalan kecil itu. Kedai kopi yang sepi dan kecil. Ryan berbelok dan membuka pintu kedai kopi, suara lonceng kecil yang berdentang menyambutnya. Dan ia segera duduk di meja yang biasa ia duduki. Meja yang dekat dengan jendela yang menghadap keluar. Agak terpojok memang, tapi jauh lebih tenang daripada tempat yang lain.

Ryan mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum, memanggil seorang pelayan yang tak jauh darinya. Pelayan tersebut langsung mendekatinya.

“One pancake and coffee, please, (Satu porsi pancake dan kopi, tolong)” ucap Ryan sambil tersenyum. Pelayan tersebut balas tersenyum lalu mengangguk dan mencatat pesanan Ryan. Lalu pelayan itu pergi, menyiapkan pesanan. Hari itu sepi menggantung di dalam kedai kopi. Yang terdengar hanya suara kopi yang sedang diseduh, atau desis pancake dipenggorengan. Yang lainnya, senyap.

Ryan membuka tas ranselnya, mengaduk dalamnya, dan akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya. Sepucuk surat yang sebenarnya sudah ia baca di kelas tadi, namun ia kembali rindu dengan tulisan indah ibunya. Ryan tersenyum, membaca ulang surat tersebut. Ibunya yang masih di Jakarta bercerita tentang adik bungsunya yang sekarang sudah mahir bersepeda, mendapat juara di kelas. Juga cerita tentang bibi-nya yang akan segera menikah. Dan pertanyaan yang sama disetiap penutup surat-suratnya. Sekali lagi Ryan tersenyum, sekaligus merasa ngilu dihatinya.

Ryan menarik selembar kertas kosong dan pena. Ia mulai menulis. Membalas surat yang dikirim ibunya beberapa hari yang lalu. Ryan menulis tentang keadaannya di negeri orang ini, bagaimana kabar kuliah dan pekerjaan paruh waktunya, tentang tugas-tugas, dan kebahagiaannya atas kemajuan adiknya dan pernikahan bibi-nya. Lalu Ryan terdiam, ragu akan apa yang harus ditulisnya selanjutnya. Dan inilah, apa yang selalu ditulisnya sebagai penutup surat-surat yang dikirim untuk ibunya, “Aku belum bisa pulang dalam waktu dekat, Bu.”. Ryan terdiam.

Saat Ryan hendak melipat surat yang baru saja ditulisnya, lonceng kecil tanda pengunjung datang kembali berdentang pelan. Sesaat Ryan tidak peduli, tapi saat orang yang baru masuk itu berjalan melewatinya, sekejap Ryan menoleh. Ryan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, lelaki yang baru saja masuk itu, memakai batik?

Lelaki itu memakai kacamata, tampak pintar dan tenang. Dan ia, berbatik! Itu yang paling penting. Ryan terus menatapnya, tidak peduli lelaki itu sadar atau tidak. Dan lelaki itu memilih untuk duduk tepat di belakang meja Ryan. Pertama Ryan beusaha tetap tenang, namun segera berbalik kearah lelaki itu untuk menyapanya.

“Are you Indonesian? (Apakah kamu orang Indonesia?)” tanyanya Ryan tanpa basa-basi. Laki-laki itu terdiam sebentar, lalu senyumnya merekah lebar sambil mengangguk berkali-kali.
“Orang Indonesia juga?” ia balik bertanya. Ryan mengangguk sambil tertawa. Keduanya tertawa. Sekejap kedai kopi yang tadinya sepi, mulai riuh dengan tawa mereka.
“Ayo gabunglah bersamaku, aku sendirian,” ajak Ryan sambil menepuk sisi lain mejanya. Lelaki itu tertawa pelan lalu bangkit dari duduknya, bergabung bersama Ryan dimejanya. Baru mereka mau akan berbicara lagi, datang pelayan yang menantarkan pesanan Ryan. Lelaki itu mengisyaratkan bahwa ia ingin secangkir kopi, pelayan tersebut tersenyum lalu berlalu.
“Omong-omong, namaku Ridho,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya, menunggu sambutan tangan Ryan. Dan Ryan cepat-cepat menjabat tangan Ridho.
“Namaku Ryan,” keduanya lalu tertawa, lagi.
“Sudah lama tidak bertemu dengan orang Indonesia lagi. Aku sempat kaget,” ungkap Ridho di sela tawanya. Ryan mengangguk membenarkan.
“Aku juga. Tidak pernah aku bertemu orang Indonesia lain selain teman-teman sekuliahanku,” Ridho menaikkan alisnya, tertarik.
“Kau mahasiswa?” tanyanya sambil melonggarkan syal yang dipakainya.
“Begitulah,” jawab Ryan sambil tersenyum dan menambahkan gula dikopinya. “Kau juga mahasiswa?” Ryan balik bertanya. Ridho tersenyum.
“Ya, tapi jika bersungguh-sungguh, akhir tahun ini aku akan lulus,” jawabnya. Ryan mengangguk mengerti. Sesaat keduanya diam. Yang terdengar hanya suara sendok Ryan yang membentur dinding cangkir kopinya.
“Jadi, kau tidak pulang ke Indonesia? Kudengar bulan ini semua universitas meliburkan semua mahasiswanya,” Ridho kembali memancing pembicaraan. Ryan terdiam akan pertanyaan itu. Semua teman-temannya yang berasal dari Indonesia sudah pulang dari seminggu yang lalu. Tapi Ryan, ia tidak akan mau pulang.
“Kau sudah lupa alamat rumahmu, ya?” itulah guyon yang selalu dilontarkan teman-temannya saat Ryan menolak untuk ikut pulang bersama mereka. Dan Ryan hanya tersenyum sebagai balasan.
“Aku tidak pernah pulang ke Indonesia 2 tahun terakhir ini,” jawab Ryan saat ia sadar dari lamunannya. Seorang pelayan mendekati mereka, mengantarkan pesanan Ridho. Ridho mengucapkan terima kasih lalu pelayan itu berlalu.
“2 tahun? Kerasan sekali rupanya,” canda Ridho. Keduanya tertawa.
“Kenapa tidak pulang? Ini bulan yang baik untuk pulang. Lagipula cuaca akan semakin dingin.” Ridho masih penasaran.
“Aku suka musim gugur,” jawaban singkat dari Ryan. Ridho tertawa kecil sambil mengaduk kopinya. “Kau pun tampaknya tidak pulang.” Ucap Ryan lalu menyeruput kopinya.
“Ya, aku sedang dalam riset yang tidak bisa kutinggalkan. Lagipula awal tahun aku sudah pulang,” jawab Ridho. Ryan mengangguk.
“Dimana kampungmu, Ryan?” tanya Ridho sambil mengangkat cangkir kopinya, menyeruputnya pelan. Kopi yang panas segera menetralkan suhu tubuhnya yang kedinginan.
“Di Jakarta. Kampungmu dimana?” jawab Ryan sekaligus bertanya. Ridho meletakkan cangkirnya kembali sebelum menjawab.
“Di Medan. Kau anak Jakarta rupanya. Tidak rindu dengan Monas?” gurau Ridho.
“Aku lebih suka dengan Big Ben,” Ryan balas bergurau. Keduanya kembali tertawa.
“Jakarta sudah maju sekarang,” ucap Ridho. Ryan tersenyum sinis. Maju ya…, batin Ryan dalam hati. Mau tidak mau, Ryan melempar kembali ingatannya akan masa lalunya di Jakarta. Masa-masa kelam yang tiap kali ia kenang akan membuat ngilu hatinya. Dulu Ryan hidup susah. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju, dan ayahnya tukang judi. Walau pun tukang judi, ayahnya tidak pernah marah-marah di rumah. Hanya tak bicara.

Dulu Ryan terpaksa ikut kerja kecil-kecilan agar meringankan ibunya untuk membayar uang sekolahnya yang mahal. Walau pun hidup miskin, Ryan tidak malu belajar di sekolah yang sama dengan banyak anak-anak orang kaya. Walaupun sebagian besar anak-anak itu mengejeknya, Ryan tetap tidak peduli.

Ryan ingat saat ayahnya meninggal, waktu itu umurnya baru 13 tahun. Ibunya terpaksa kerja keras. Ditambah lagi saat itu Ryan sudah mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Hidupnya benar-benar susah. Ryan sedih tiap kali mengingat saat ibunya dilecehkan dan diejek karena bekerja sebagai tukang cuci.

Tapi akhirnya Ryan lulus sekolah menjadi anak yang berprestasi. Ia memang tidak pintar. Tapi keuletannya berbuah manis. Ia lulus beasiswa bersekolah di Inggris. Dan sinilah ia sekarang, duduk di kedai kopi yang terletak di seluk beluk kota London, termenung mengorek kembali pedihnya masa lalu.

Ryan memotong pancake-nya dengan garpu lalu berkata, “Aku tidak akan pulang. Ibuku dan adik-adikku akan aku bawa ke London. Aku akan bekerja di sini. Mengganti kewarnegaraanku dan keluargaku.” Ridho terdiam mendengarnya. Ryan dengan santainya mengangkat wajah sambil tersenyum, itu memang rencananya saat sudah lulus kuliah nanti. Ridho tertawa pelan.
“Kau punya masa lalu yang buruk rupanya,” ucap Ridho sambil mengaduk pelan kopinya. Ryan tersentak mendengarnya. “Bagaimana aku tahu? Aku sudah menetap di Inggris selama 4 tahun. Aku bertemu dengan banyak orang dari banyak Negara. Tapi jujur saja, hanya orang-orang Indonesia yang mempunyai rencana yang sama denganmu. Mereka membenci Negara mereka sendiri. Aku pun sebenarnya juga punya masa lalu yang buruk, tapi aku sudah berdamai dengan masa lalu. Aku harus mengembalikan apa yang sudah aku pinjam.” Sambung Ridho.

“Yang kau pinjam?” ulang Ryan bingung.
“Kau pun meminjam hal yang sama,” ucap Ridho sambil tersenyum.
“Aku tidak mengerti,” jawab Ryan. Ridho menyandarkan punggungnya disandaran kursi sambil terus tersenyum.
“Wajar kau tak mengerti,” ucapnya. “Apa yang kita pinjam, adalah sayap Garuda. Kita sudah sampai di sini. Saat ini, memang kita di sini. Tapi suka dan duka kita alami di Indonesia. Kita ada di sini karena dasar yang kita dapat di sana. Ini hanya batu lompatan. Indonesia tetap rumah kita, dan kita harus mengembalikan sayap yang sudah kita pinjam. Kita bangun negeri kita, dan kita bantu anak-anak penerus kita agar bisa meminjam apa yang sudah kita pinjam.” Jelas Ridho. Ryan terdiam. Diam yang panjang.

Tiba-tiba dering telefon berbunyi nyaring. Menyentak Ryan dan seluruh pikirannya. Ridho merogoh kantung celananya, dan terkejut.
“Oh, aku terlambat untuk rapat riset-ku. Aku harus pergi sekarang,” ucapnya lalu segera meneguk habis kopinya yang sudah mendingin. Ia lalu bangkit dari duduknya, Ryan ikut bangkit.

“Kau akan menangis melihat senyum rindu Ibu Pertiwi diwajah ibu-mu,” bisik Ridho. Tiba-tiba hati Ryan meleleh, mengingat senyum ibunya yang begitu teduh dan penuh sayang. Ridho menyodori Ryan selembar kartu nama.

“Hubungi aku kapan saja. Senang bertemu denganmu, Ryan.” Lalu keduanya berjabat tangan. Sosok Ridho lalu berjalan keluar kedai setelah membayar tagihannya. Tinggal Ryan sendiri dengan sepiring pancake dan setengah cangkir kopinya. Ryan merogoh kantung celananya, mengeluarkan telefon genggamnya, menekan nomor telfon maskapai penerbangan.

“Hello, is there any ticket to Indonesia tonight? (Hallo, apakah ada tiket untuk ke Indonesia malam ini?)”

Edhopaju
MJN.jakarta