Minggu, 26 Agustus 2018

NEGERI DALAM SELIMUT HOAX

Pada saat ini, hoax tidak hanya bisa dipublikasikan oleh penguasa atau politikus berpengaruh semata, sebab kini setiap orang bisa menciptakan dan menyebarkan berita dan opini yang mereka buat ke seluruh dunia, hanya dengan beberapa ketukan ujung jari. Tentu, kenyataan ini semakin menambah intensitas produksi dan peredaran hoax di tengah-tengah kita. Tapi bagaimanapun, semua hoax diciptakan dengan tujuan yang tak jauh berbeda. Sebuah imperium atau penguasa menjadikan hoax sebagai alat untuk merebut kekuasaan atau untuk mempertahankannya, atau agar semakin kaya, kuat dan jaya. Begitupun hoax diciptakan oleh warga sipil untuk memperoleh pengakuan publik, popularitas, dan meraup sebanyak mungkin materi.

Nah, setelah kita menyaksikan betapa dahsyatnya pengaruh buruk hoax, dan bahwa kini ia telah sangat mudah tersebar sedemikian merata, menyusup masuk ke sudut-sudut kehidupan kita, mulai dari ruang politik, ekonomi, sosial, keagamaan, dan bahkan hiburan, maka tak ada pilihan lain yang bisa kita lakukan selain berperang melawan hoax. Sebab jika hoax dibiarkan tanpa perlawanan, maka orang akan meyakini bahwa hoax itu adalah perkara yang haqq, dan akhirnya kita terjebak dalam kubangan yang menyengsarakan. Satu contoh, seorang calon pemimpin gencar menciptakan hoax untuk mencitrakan dirinya sebagai dewa penyelamat, lalu kita pun termakan hoax itu lantas dengan lugu memilihnya sebagai pemimpin, maka jelas selanjutnya kita akan hidup dalam ketidak-tenangan selama kepemimpinannya. Tapi bagaimana mestinya kita berperang melawan hoax?

Sebetulnya, hal pertama yang kita butuhkan adalah kepala dingin, sebab setiap hoax diciptakan dengan kemampuan untuk membakar dan meledakkan emosi. Jika kita tidak memakai kepala dingin dan nalar yang jernih, maka kita tidak akan bisa merespons hoax dengan tepat. Untuk memahami hal ini, mari kita lihat, hal apakah yang paling banyak di share dan di komentari orang di sosial media? Tentu konten yang dibangun dengan bahan yang bisa membakar emosi, bukan yang dibangun dengan menyalakan nalar. Malah, konten-konten ilmiah yang penuh dengan analisa dan data-data akurat sangat sepi peminat. Berbeda dengan konten yang berisi luapan emosi, muatan politik, ideologi, dan fanatisme. Untuk konten-konten tipe kedua ini, seringkali tanpa terasa kita share dan komen, tanpa terlebih dahulu menelisik kebenaran berita dari sumber utamanya.

Maka, di hadapan berita-berita yang membakar emosi itulah sebenarnya kualitas nalar seseorang diuji; apakah ia bisa menghadapinya dengan kepala dingin layaknya orang yang berakal sehat, atau malah menghadapinya secara emosional layaknya orang kesurupan? Di zaman pertarungan politik dan pemikiran yang sudah terpolarisasi sedemikian rupa seperti sekarang ini, sudah barang tentu orang akan hilang kesadarannya manakala ada isu yang bisa menguntungkan pihak sendiri dan bisa merugikan pihak lawan; ia langsung akan share sebanyak-banyaknya tanpa mau tahu sebelumnya apakah berita itu haqq ataukah hanya hoax. Sialnya, jika kebiasaan seperti ini sudah menjadi sindrom yang menyelimuti seisi negeri, maka sudah pasti negeri itu jauh dari kata maju dan berperadaban luhur.

Rabu, 22 Agustus 2018

Nyanyian malam

Malam, nyanyikan lagu senandung kesejukan
Sumber merdu suara kiacauan
Tempat bunga-bunga bermekaran
Memberi sangkar para musafir liar.

Sabtu, 18 Agustus 2018

FEMINISME,KEKUATAN PEREMPUAN TATKALAH MEREKA HARUS MENUNTUT BICARA PADA DUNIA

" Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu".Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa, mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan (Sarah Grimke, 1837)

Gerakan feminis dimulai sejak akhir abad ke- 18, namun diakhiri abad ke-20, suara wanita di bidang hukum, khususnya teori hukum, muncul dan berarti. Hukum feminis yang dilandasi sosiologi feminis, filsafat feminis dan sejarah feminis merupakan perluasan perhatian wanita dikemudian hari. Ketika itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft. Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan sempat ditahan, ketika itu. Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar. Walaupun pendapat feminis bersifat pliralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriacal. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh idiologi pembuat keputusan, dan idiologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sifat patriacal dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku. Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriarchal. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya (manusia) untuk bertahan hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan. Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan. Hal-hal yang berperan mengakibatkan subordinasi terhadap wanita, yaitu: 1. Klasifikasi yang didasarkan pada gender 2. Pilihan-pilihan politik yang diberikan 3. Pengaturan-pengaturan institusional yang tersedia. Menurut Deborah L. Rhode, ada tiga komitmen sentral feminis, yaitu: 1. Tingkat politis, mengupayakan kesederajatan antara pria dan wanita. 2. Tingkat substantive, mengangkat isu gender sebagai focus analisis dengan untuk merumuskan kembali praktek hukum yang selama ini mengesampingkan, tidak menghargai dan meremehkan kepentingan wanita. 3. Tingkat metodologis, mempersiapkan kerangka kerja dunia yang menggunakan pengalaman (wanita) yang ada guna mengidentifikasi transformasi sosial yang mendasar bagi tercapainya kesedarajatan gender sepenuhnya. Nilai-nilai yang secara tradisional berkaitan erat dengan wanita dihargai, dan setiap strategi perubahan struktur sosial yang akan dilakukan tidak sekedar memadukan wanita kedalam struktur yang telah dibentuk menurut pandangan pria. ALIRAN-ALIRAN FEMINISME Feminisme liberal Apa yang disebut sebuah feminism liberal adalah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Feminisme liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara” Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal. Feminisme radikal Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideology “perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”. Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Feminisme post modern Ide posmo – menurut anggapan mereka – ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur social. Feminisme anarkis Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Feminisme Marxis Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja. Feminisme sosialis Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan. Feminisme postkolonial Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.” Feminisme Nordic Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial Negara TOKOH DALAM FEMINISME 1. Foucault Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism. 2. Naffine (1997:69) Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa. 3. Derrida (Derridean) Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.

Oleh:edhopaju
Sumber:dirangkum dari berbagai sumber terkait.

KOPI ASIN


Dia bertemu dengan gadis itu di sebuah pesta, gadis yang menakjubkan. Banyak pria berusaha mendekatinya. Sedangkan dia sendiri hanya seorang laki² biasa. Tak ada yang begitu menghiraukannya. Saat pesta telah usai, dia mengundang gadis itu untuk minum kopi bersamanya. Walaupun terkejut dengan undangan yang mendadak, si gadis tidak mau mengecewakannya.

Mereka berdua duduk di sebuah kedai kopi yang nyaman. Si laki² begitu gugup untuk mengatakan sesuatu, sedangkan sang gadis merasa sangat tidak nyaman. "Ayolah, cepat. Aku ingin segera pulang", kata sang gadis dalam hatinya. Tiba² si laki² berkata pada pelayan, "Tolong ambilkan saya garam. Saya ingin membubuhkan dalam kopi saya." Semua orang memandang dan melihat aneh padanya. Mukanya kontan menjadi merah, tapi ia tetap mengambil dan membubuhkan garam dalam kopi serta meminum kopinya.

Sang gadis bertanya dengan penuh rasa ingin tahu kepadanya,"Kebiasaanmu kok sangat aneh?". "Saat aku masih kecil, aku tinggal di dekat laut. Aku sangat suka ber-main² di laut, di mana aku bisa merasakan laut... asin dan pahit. Sama seperti rasa kopi ini",jawab si laki². "Sekarang, tiap kali aku minum kopi asin, aku jadi teringat akan masa kecilku, tanah kelahiranku. Aku sangat merindukan kampung halamanku, rindu kedua orangtuaku yang masih tinggal di sana", lanjutnya dengan mata berlinang. Sang gadis begitu terenyuh. Itu adalah hal sangat menyentuh hati. Perasaan yang begitu dalam dari seorang laki² yang mengungkapkan kerinduan akan kampung halamannya. Ia pasti seorang yang mencintai dan begitu peduli akan rumah dan keluarganya. Ia pasti mempunyai rasa tanggung jawab akan tempat tinggalnya. Kemudian sang gadis memulai pembicaraan, mulai bercerita tentang tempat tinggalnya yang jauh, masa kecilnya, keluarganya... Pembicaraan yang sangat menarik bagi mereka berdua. Dan itu juga merupakan awal yang indah dari kisah cinta mereka. Mereka terus menjalin hubungan. Sang gadis menyadari bahwa ia adalah laki² idaman baginya. Ia begitu toleran, baik hati, hangat, penuh perhatian... pokoknya ia adalah pria baik yang hampir saja diabaikan begitu saja. Untung saja ada kopi asin !

Cerita berlanjut seperti tiap kisah cinta yang indah: sang putri menikah dengan sang pangeran, dan mereka hidup bahagia... Dan, tiap ia membuatkan suaminya secangkir kopi, ia membubuhkan sedikit garam didalamnya, karena ia tahu itulah kesukaan suaminya.

Setelah 40 tahun berlalu, si laki² meninggal dunia. Ia meninggalkan sepucuk surat bagi istrinya:"Sayangku, maafkanlah aku. Maafkan kebohongan yang telah aku buat sepanjang hidupku. Ini adalah satu²nya kebohonganku padamu---tentang kopi asin. Kamu ingat kan saat kita pertama kali berkencan? Aku sangat gugup waktu itu. Sebenarnya aku menginginkan sedikit gula. Tapi aku malah mengatakan garam. Waktu itu aku ingin membatalkannya, tapi aku tak sanggup, maka aku biarkan saja semuanya. Aku tak pernah mengira kalau hal itu malah menjadi awal pembicaraan kita. Aku telah mencoba untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Aku telah mencobanya beberapa kali dalam hidupku, tapi aku begitu takut untuk melakukannya, karena aku telah berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun darimu... Sekarang aku sedang sekarat. Tidak ada lagi yang dapat aku khawatirkan, maka aku akan mengatakan ini padamu: Aku tidak menyukai kopi yang asin. Tapi sejak aku mengenalmu, aku selalu minum kopi yang rasanya asin sepanjang hidupku. Aku tidak pernah menyesal atas semua yang telah aku lakukan. Aku tidak pernah menyesali semuanya. Dapat berada disampingmu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Jika aku punya kesempatan untuk menjalani hidup sekali lagi, aku tetap akan berusaha mengenalmu dan menjadikanmu istriku walaupun aku harus minum kopi asin lagi."

Sambil membaca, airmatanya membasahi surat itu. Suatu hari seseorang menanyainya, "Bagaimana rasa kopi asin?", ia menjawab, "Rasanya begitu manis."..

#kopi asin sang penulis
Untuk apa mencita hal yg manis...asin..juga perlu kaan..???

By:edo paju

EFORIA HARGA DIRI

Menziarahi hari kemenangan berjuta rindu berbondong menyusuri jalan mudik Membawa cerita mimpi dan keberhasilan yang sedikit tertunda untuk dipamerkan ke sanak Juga menggenapi janji dan nazar yang terlanjur terucap ketika melepas tanah leluhur Anakpun dikenalkan pada saudara, kasta, tingkat dan kedudukan dalam tata sosial Istri-istri menjadi tranding mode dan pusat informasi bagi kadang Semua adalah harga yang didapat karena pulang dari perantauan Baju baru tersimpan di koper Hadiah kecil tersusun di tas Gepokan uang receh tersedia di dompet Semua untuk membeli perhatian dan membayar kedudukan dalam keluarga Ketika eforia telah berlalu dan menyisakan lelah Harga diri dan kebanggaan telah terbanting karena sanjung puji telah reda Maka bagasi mobil dipenuhi beras, buah-buahan dan apapun yang bisa diangkut ke kota untuk menyambung hidup Teriring doa dan lambaian tangan Selamat tinggal kampung halaman Selamat berpisah sanak kadang dan handai taulan Aku merantau kembali agar tahun depan dapat kembali dan membual

KENANG AKU DALAM DAULAT NEGERI YANG MERINTIH

Rahasia kekuasaan yang tiada terbantahkan ilusi gamang menerka secercah harap menyatu tentang segala sesuatu yang terus merenda mutiara syahdu lamunan igau yang tempias satu persatu berjalan bimbang mementas batas inilah hasil libur yang kau rasakan Kenang aku dalam daulat negeri yang merintih betapa indah hidup penuh irama dan liku berbatas waktu cumbuan merayu seksama tegur sapa lirih berpindai kelembutan janji alur tegas ambisius poranda penuh peran batas lirih ketiadaan yang begitu hampa selalu ada usaha untuk terus menjadi yang terbaik Agar hidup tak berbuah sia-sia fitrah naluri mengembang tugas panjang meremang membaur potensi jelita memantik arus yang bimbang hidup menyerta gelimang risih menasbih batas pandangan meremang kekuatan lantang menoreh kehendak berpacu lagu sendu meramu Kau keren teramat luar biasa sekali apa yang sedang mereka perbincangkan saat itu intim merajut segala janji yang pongah mengatasi sunyi sepanjang tentu mereka yang terus tetap bertahan hingga kini kendali waktu aroma sensasi berseri.

Jakarta/07/18

DI BERANDA SUNYI

Sore ini riang-riang ribut di luar kamar, Dan saya ribut di dalam kamar Mengasah tajam-tajam sunyi di hati.

Sambil main-main dengan sunyi Saya membuka jam minum kopi “Ada kopinya, hanya perlu ditambah Sebatang kata untuk berlebaran puisi.”

Riang-riang masih saja ribut Diikuti teriakan orang-orang Tanpa kecewa Ia mengajar isyarat keheningan: “Bawalah aku kepada kepala dan hatimu Jangan lupa menulis nama-Ku Di seluruh puisimu.”

Edho paju
Anyer/02/04/16

ZIARAH

Segala hari kami adalah ziarah, Kepada entah Dan berapa lama jejak-jejak patah?

Kami seperti mimpi Di tidurmu yang tidak tidur,Di malam kami layu Kau tak dapat dirayu, kan?

Hidup kami hanyalah tanggal Menuju tahun ketujuh puluh Jika kuat delapan puluh Hingga kami melayang lenyap Pergi pun tidak, mati pun taak.

Edho paju
Jakarta/07/08/18

Rabu, 15 Agustus 2018

MENGAGAS PENDIDIKAN LITERASI

PERKEMBANGAN teknologi informasi yang mengemuka di kehidupan manusia sepuluh tahun terakhir mendesak dirumuskan kembali dalam konteks pendidikan literasi. Kerangka literasi ini dapat didedah melalui perspektif epistemologis, ontologis, dan aksiologis. Derasnya informasi di jagat daring mendera konstruksi berpikir manusia.

Di satu sisi ia mendapatkan bejibun pengetahuan, tapi di lain sisi otaknya “lumpuh” karena menjadi budak dari informasi yang saling sengkarut itu. Persoalan demikian, karena itu, dapat dianalisis sebagai sebuah fenomena baru yang mendekonstruksi definisi literasi yang tak lagi bermakna seputar membaca dan menulis. Kedudukan informasi dalam proses perkembangan intelektual manusia berperan sebagai gerbang awal sebelum memasuki tahap “mengetahui”.

Selanjutnya, ia diikuti fase “memahami” yang secara tak langsung membentuk cakrawala baru yang lebih terang. Agar Hari Anak Tak Sekadar Seremonial Read more Dua titik antara “mengetahui” dan “memahami” itu dijembatani oleh kecakapan literasi yang dewasa ini kerap didengungkan pendidikan modern sebagai terobosan baru dalam pembentukan individu yang melek pengetahuan.

Persoalan literasi di atas belum ditempatkan sebagai pembelajaran di kelas—bila dikaitkan dengan proses pendidikan dalam konteks sekolah—karena masing-masing pelajaran masih diberlakukan sebagai muatan informasi.

Model pendidikan tanpa mempertimbangkan kompetensi literasi akan berdampak pada pembentukan kecenderungan siswa yang gemar membeo pada pengetahuan tertentu yang diyakininya benar. Ia tak memberi ruang kosong pada pelbagai kemungkinan pengetahuan lain, karena apa yang dari luar itu telah ditampiknya sebagai kesalahan.

Citra tersebut bisa dikaitkan dengan fenomena perseorangan atau kelompok yang berlindung dari perisai dogma dan gemar menyalahkan orang lain karena perbedaan paham. Dalam lingkup ilmu literasi, tipe individu seperti itu disebut nirliterasi. Hulu masalah literasi sesungguhnya bermula pada nihilnya pendidikan literasi di kelas.

Bilapun dipelajari dalam satu paket mata pelajaran, substansi literasi hanya diintegrasikan pada materi bahasa dan sastra. Oleh sebab itu, terdapat erosi esensi karena pengetahuan literasi diminorkan dan direduksi sebagai materi yang bersifat teoretis.

Dengan pernyataan lain, pelajaran literasi hanya disimbolkan dan diganti pelajaran “tentang bahasa”, bukan “berbahasa” yang cenderung berorientasi pada aktualisasi siswa dalam praktik di lapangan. Ironi berikutnya adalah absennya pelajaran mencatat. Di tingkat dasar, siswa acap dituntut menulis tapi anehnya guru tak pernah mengajarkan bagaimana cara mencatat yang baik dan benar. Tak heran bila siswa kebingungan dalam manajemen pengetahuan (informasi).

Karenanya, jamak peserta didik buta terhadap esensi ilmu pengetahuan. Yang ia pahami hanya mengikuti perintah guru tanpa diberikan pedoman mencatat ilmu secara metodologis. Bukankah sebelum mengetahui sesuatu ia harus mencatat, sementara tak akan mencapai titik pemahaman sebelum melewati tahap mengetahui?

Tak heran bila pendidikan di Indonesia dewasa ini hanya menghasilkan siswa yang pandai meniru dan macet inovasi. Sekalipun sudah memasuki fase remaja, siswa masih merasa rendah diri. Penyebabnya sepele, yakni doktrinasi kontemporer di sekolah formal yang hanya mengarahkan siswa pada pola pembelajaran “benar” dan “salah” dalam pengkajian ilmu. Siswa hampir tak pernah diajarkan “kenapa” dan “bagaimana” suatu ilmu bekerja.

Kemajemukan berpendapat siswa digilas oleh soal pilihan ganda. Padahal, dalam teori evaluasi pendidikan, tipe soal pilihan ganda adalah model yang paling rendah karena menihilkan kemampuan interpretasi peserta didik. Bila hendak mendapatkan jawaban objektif, seharusnya guru menggunakan model evaluasi esai karena memungkinkan jawaban variatif dari siswa. Semakin kritis siswa berragumentasi, semakin otentik ia membangun ruang pemahaman. Model alat evaluasi uraian dapat menilai sejauh mana siswa memahami suatu topik tertentu melalui sudut pandang masing-masing. Dengan demikian, siswa terlatih beropini secara bebas tanpa takut salah sepanjang pendapatnya berdasar dan bertanggung jawab.

Strategi dan Siasat DAS Sein dan das sollen yang merepresentasikan pokok masalah pendidikan literasi mustahil dipecahkan melalui satu pendekatan ilmu, terutama mengandalkan ilmu pedagogik, baik meliputi konsep teoretis maupun terapan. Metapersoalan yang melingkupi realitas pendidikan literasi sudah sampai tahap akut karena dikelilingi oleh variabel terikat yang tak sekadar tunggal, tetapi plural—itupun masih terdiri atas subvariabel yang koheren.

Karenanya, terobosan yang bisa dilakukan adalah memulai mencari benang merah persoalan, yaitu berangkat dari kebutuhan siswa. Pertama, dibutuhkan suatu pendekatan pengajaran baru yang bersifat aplikatif dan mengajak siswa belajar mandiri. Buku panduan mencatat bagi siswa sekolah dasar bisa menjadi solusi alternatif.

Ia bukan buku teks yang berisi muatan teori, melainkan buku panduan yang mengajarkan siswa bagaimana cara mencatat secara sangkil dan mangkus. Meskipun demikian, ia harus disesuaikan dengan kebutuhan zaman: dikonstruksi dalam bentuk aplikasi berbasis internet.

Hal tersebut semata-mata mengikuti atmosfer pembelajaran yang dewasa ini diarahkan pada teknologi informasi. Kerangka aplikasi itu merangkum empat pendekatan saintifik: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/eksperimen, mengasosiasikan/mengolah informasi, dan mengomunikasikan. Langkah-langkah tersebut menjembatani siswa dari “mengetahui” menuju “memahami” sesuatu secara sistematis dan gradual.

Oleh karena aplikasi itu bersifat interaktif, maka siswa dipandu dengan umpan kegiatan-kegiatan yang menuntut kreativitas tanpa batas dan produktif. Karena itu, siswa melakukan aktivitas stimulus-respons tanpa memedulikan jawaban yang benar atau salah, sebab tujuan aplikasi itu adalah menata informasi agar mudah dipahami.

Kedua, aplikasi itu dibuat dengan pendekatan ilmiah Research and Development—suatu jenis penelitian yang memungkinkan peneliti mengembangkan objek dengan menyusun analisis kebutuhan (studi pustaka dan studi lapangan), pengembangan produk awal (mengumpulkan bahan, desain, produk), validasi ahli (materi dan media), produksi produk, revisi produk, uji terbatas, dan revisi serta produk akhir.

Enam langkah tersebut dilakukan secara bertahap dan dengan mempertimbangkan pola pengembangkan media dalam lingkup pendekatan ilmiah. Tapi ia harus dipahami sebagai instrumen pembantu semata, bukan penjamin atau penentu keberhasilan pendidikan literasi.

Seperti tuturan Ki Hadjar Dewantara seabad lampau bahwa alat pengajaran tak bisa diposisikan sebagai penentu keberhasilan akademik siswa. Bagi Bapak Pendidikan Nasional itu, faktor determinan keberhasilan pendidikan terletak pada proses pemerdekaan kreativitas siswa serta eskalasi dialektis antara guru dan subjek didik tanpa mandek.

Rabu, 01 Agustus 2018

SALAKAH MELANKOLIS?

Sisa perdebatan di warung kopi malam tadi masih menggantung rasanya. Tak ada habisnya perdebatan tersebut. Masing-masing orang ngotot mempertahankan argumentasinya. Tak ada solusi, tapi lumayan buat menambah khazanah pengetahuan. Diskusi panjang “Laki-laki Cengeng” malam itu, harus disudahi mengingat persiapan D bebat esok malam.

Salahkah menjadi laki-laki melankolis? Kata teman sekamar, laki-laki identic dengan pembawaan yang lugas, tegas dan pantang mundur menyelesaikan suatu persoalan. Senior tingkatku mendukung dengan nalar bahwa seorang laki-laki yang terbiasa dengan pola hidup melankolis secara tak langsung mengingkari kodratnya sebagai laki-laki. Diskusi berlanjut hingga pada ruang yang lebih konkret dan terpopuler saat ini, dunia literasi. Dunia tulis-menulis dewasa ini diwarnai dengan perwajahan melankoli. Setiap hari selalu saja ada oknum dalam contact list media sosial yang menggerutu tentang beratnya hidup, terjalnya dunia percintaan atau sulitnya menghadapi tugas akhir. Ruang public dalam dunia jejaring sosial memang tak lepas dari hal-hal berbau sinisme. Selalu saja meragukan kebenaran, menghindari kenyataan. Namun salahkah jika seorang laki-laki yang katanya dikaruniai hati baja bertingkah sedemikian? Dunia literasi yang sesak dengan opini-opini dari penulisnya adalah bebas. Terserah mau nulis apa, yang penting bertanggung jawab. “-At the last, Habits make you.” Kutipan menjadi dasar pembenaran, bahwa kebiasaaan sehari-hari akan membentuk karakter dan alur berfikir seseorang. Membiasakan diri merilis kondisi perasaan membuat seseorang tak lagi mandiri. Cepat bertindak konyol, membiarkan semua orang mengetahui permasalahannya. Tak lagi jelas ruang privasi seseorang, karena dirinya sendirilah yang mengumbar ruang privasinya. Kesalahan beberapa oknum demikian adalah pada cara berfikirnya. Memisahkan antara realitas dan dunia maya dalam jejaring dunia daring. Ironisnya, tak jarang kita mengetahui karakter asli seseorang ditinjau dari media-media sosial yang dipunyainya. Apakah memang salah menabur perasaan dengan tulisan? Tentu saja tidak. Tulisan menjadi penguasaan penuh penulisnya. Pertanggungjawaban ada pada penulis. Selera memang tak dapat untuk dicampuri, meski demikian, dengan selera, cita rasa dan perwatakan seseorang dapat diukur.

PERIA DI POJOKAN

Dini hari, pukul satu seperempat, bangku-bangku di kedai kopi masih ramai. Aroma tembakau, kopi dan aneka masakan bercampur, menimbulkan bau khas. Kikan menengok puluhan kepala di sekelilingnya. Semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada yang terkikih-kikih sendiri, mungkin sedang menonton cuplikan video lucu di ponsel pintarnya, ada juga yang serius berbincang-bincang, entah apa yang dibicarakan mereka. Kikan menebak tentu pembicaraan berat, seperti mengomeli pemerintah yang kerap dikambinghitamkan karena perekonomian yang merosot. Ada pula sekawanan orang yang berteriak-teriak memarahi komentator sepak bola karena keseleo lidahnya menyudutkan tim kesayangannya. Terlepas dari riuh dan bisingnya suasana di permulaan hari, kikan paling tertarik dengan tontonan yang tak biasa. Perhatiannya sepenuhnya tercurah pada sosok manusia jangkung pada meja di pojok kiri. Hanya berjarak satu setengah meter darinya. Kikan dan pria itu dibatasi meja kosong. Seminggu ini, Ia bersemangat mendatangi warung kopi, hanya untuk melakukan pengamatan pada “pria pojokan”, begitu kikan menamainya. Tak ada yang benar-benar jelas dari kekagumannya pada pria itu. Dari tampang saja, pria itu jauh di bawah standar selera perempuan masa kini. Jika diukur berdasarkan skala, nilai tampilannya; dua dari sepuluh. Jauh dari kata tampan dan memikat. Balik menyeruput kopi hitam di samping laptopnya, kikan berupaya menikmati rasa pahit di lidahnya. Ia bukan pencinta kopi seperti “makhluk malam” yang biasa nongkrong di warkop hingga pagi. Seleranya dipaksakan mengikuti pria pojokan, padahal ia lebih senang menikmati teh panas dibanding cairan pahit, hitam dan sama sekali tidak artistik seperti teh. Jika dipikir-pikir, daya magnet pria itu hanya satu. Laki-laki itu penulis, dan kikan terobsesi dengan cerita yang ditulisnya dalam sebuah blog. Tiap kali membaca isi tulisannya, kikan beranggapan bahwa dia dan pria itu terhubung. Sebuah logika sederhana, Kikan gemar mendengarkan cerita pengalaman orang lain, sedang pria itu sering menulis. Mereka memiliki hobi yang beda tapi memiliki hubungan simentris, pembaca dan penulis. Dua jam berlalu, pria itu menungkup kepala di  kedua punggung tangan yang ia parkir di atas meja. “Tampaknya ia sedang beristirahat”, pikir kikan. Iseng-iseng, kikan melihat-lihat postingan terbaru si pria pojokan. Lagi, sebuah cerita ia selesaikan hari ini. Judulnya, “Ilusi dini hari”. Ceritanya bersetting suasana warkop, suasana yang tenang dengan rinai hujan dan musik klasik yang diputar pengelola warkop. Ia bercerita tentang seorang perempuan yang menarik perhatiannya sejak sebulan yang lalu. Kikan membaca perlahan-lahan paragraf pembuka cerita. Perempuan itu mengenakan kerudung hitam malam ini, tak seperti malam-malam sebelumnya yang berwarna cerah. Mungkin dia sedang berkabung, atau aku yang terlalu merisaukan penampilan makhluk gemulai itu. Berbatasan hanya satu meja dariku, perempuan itu membuat degup jantungku tak menentu. Baru kali ini dia sedekat ini. Rinai hujan yang memukul-mukul beranda dan alunan tipis musik klasik yang diputar karyawan warkop menambah romantis suasana. Dia menawan laksana bintang, indah tapi tak tersentuh. Dia dan aku bagai langit maha luas dan binatang melata. Mirip lagu-lagu cinta, aku hanya pengagum yang mampu bersenandung dengan tulisan. Matanya memiliki cahaya yang sama dengan mataku. Cahaya yang dapat kau lihat jelas pada setiap manusia yang sedang kasmaran. Cahaya kekaguman pada seseorang. Kikan menghela nafas panjang, memandang dengan takjub laki-laki yang juga mengagumi dirinya, seperti halnya dia. Pria itu luar biasa, andai saja ia memiliki secuil keberanian unttuk mendekati kikan, tentu saat ini mereka tengah berbincang ria. Pertaruhan ini sebenarnya sederhana, Kikan berada selangkah lebih maju dibanding pria pojokan. Ia lebih dulu tentang kekaguman keduanya pada diri mereka masing-masing. Seandainya pria itu tidak menulis di blognya, tentu sekarang lain soal. Kikan merasa lebih terancam daripada sebelumnya, pengetahuan tentang kekaguman pria itu menyandera dirinya, mengurung niat yang sebelumnya sederhana menjadi rumit. Ia yakin betul perempuan dalam cerita itu adalah dirinya. Hujan jatuh semakin deras tepat beberapa detik setelah Kikan selesai meneguk tetesan terakhir dari kopi hitam pekatnya. Tangan kanannya menyingkap kemeja yang menghalangi arlojinya, sebentar lagi pagi. Diliriknya pria pojokan yang masih terlungkup di balik jaket gelapnya. Kikan menyesalkan kekagumannya yang kini bermetamorfosis menjadi perasaan jijik, muak akan kepengecutan seorang yang menyandang gelar laki-laki. Kikan menyusun tekad, membelah hujan dan melampiaskan seluruh perasaannya pada titik-titik air dengan sepeda motornya.

OPINI PUBLIK VS PENEGAKAN HUKUM

" Menurut Undang-Undang Dasar 1945" pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum, hal ini mengandung arti bahwa setiap orang sama dihadapan hukum. Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, dalam Dwi Winarno, 2006). Dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan kekuasaan, pemerintahan negara juga berdasar pada konstitusi, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum. Supremasi hukum harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karena itu di negara hukum, hukum  tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan masyarakat”. AV Dicey , dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law antara lain (1). Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. (2). Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat dan (3). Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan (Winarno, 2009). Dari perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda termasuk dalam wilayah Eropa Kontinental. Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan sebagai negara hukum materiil, yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Negara Hukum Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional. Kedua, sistem yang digunakan adalah Sistem Konstitusi. Ketiga, kedaulatan rakyat atau Prinsip Demokrasi. Keempat, prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Psl. 27 (1) UUD 1945. Kelima, adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR). Keenam, sistem pemerintahannya adalah Presidensiil. Ketujuh, kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif). Kedelapan, hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesembilan, adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945). Sebagaimana diketahui bahwa hukum itu ada untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat agar menjadi tertib. Menurut Yulies Tiena Masriani, 2004 dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia. Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat, selama masyarakat tidak lagi mempercayai bahwa hukum sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka hukum rimbalah yang menjadi solusi penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Belakangan ini, ada banyak kasus perampokan, pencurian dan kasus kejahatan lainnya. Ketika pelakunya tertangkap tangan, maka massa akan mengeroyok dan memukulinya bahkan sampai  berujung kematian. Kejadian demi kejadian telah dimuat di media elektronik, cetak dan media online. Pengaruh dari pemberitaan ini telah membentuk opini publik bahwa pelaku kejahatan harus dihukum dengan hukuman setimpal. Hanya saja, proses hukumnya terkadang berhenti di hukum rimba tadi dan pelakunya tewas diamuk massa. Berbicara tentang opini publik, dapat berpengaruh pada kebijakan publik. Memang tidak semua opini publik dapat diterima menjadi suatu kebijakan publik, namun kekuatan opini publik di Indonesia sangatlah dominan dalam mempengaruhi lini lainnya. Dengan adanya berbagai fakta dan asumsi mengenai opini publik di Indonesia, tulisan ini mencoba menjabarkan mengenai opini publik dan hubungannya dengan kebijakan publik serta kekuatan yang mempengaruhinya di Indonesia. Opini publik juga bisa mempengaruhi upaya penegakan hukum di Indonesia. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, Aparat Penegak Hukum (APH) selalu timbul keraguan (gamang) apabila pelaksanaan penegakan hukum disatu sisi dihadapkan dengan gencarnya perlawanan dari si pelaku melalui pembentukan opini publik. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah penegakan hukum akan dikorbankan dengan adanya kekuatan opini publik yang dilancarkan oleh pelaku, banyak contoh yang berkaitan dengan hal tersebut, antara lain, kasus yang dikenal dengan “pengumpulan koin untuk Prita”, yang merasa dikekang kebebasan berpendapat dan dilakukan melalui media online. Kemudian, ada kasus pidana “nenek mencuri buah semangka”, kasus pencurian sandal milik seorang aparat, nenek Asyani mencuri kayu jati dengan begitu gencarnya diberitakan diberbagai media, maka seolah-olah pelaku yang seharusnya dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang dilanggarnya, hakim kemudian mau tidak mau (pengaruh opini publik) akhirnya membebaskannya. Dapat Dibentuk Berdasarkan fenomena di atas, dikaitkan dengan ciri Negara hukum antara lain menyebutkan setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Upaya penegakam hukum bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat sudah tidak sesuai lagi hanya karena dihadapkan dengan kuatnya pengaruh opini publik. Dengan demikian tidaklah salah bahwa dalam salah satu hukum opini publik yang dikeluarkan oleh Hadley Cantril (diambil dari “Opini Publik”, penyusun Betty RFS. Soemirat dan Eddy Yehuda) yang mengatakan bahwa : apabila kepentingan pribadi telah tersangkut, maka opini publik didalam negara demokrasi cenderung untuk mendahului kebijaksanaan pihak yang berkuasa, dengan kata lain, opini publik bisa mempengaruhi kebijakan publik. Opini publik adalah pendapat mayoritas atau pendapat umum. Namun tidaklah demikian, opini publik bukanlah suatu mayoritas pendapat yang dihitung secara numerik. Fenomena yang ada tentang kasus sebenarnya tidaklah terlalu penting melihat ada berita penting lainnya, namun kita dapat melihat media di Indonesia sangatlah pintar untuk mengundang adanya opini publik. Kita tahu sendiri bahwa opini publik dapat dibentuk, baik secara berencana atau dimanipulasikan dalam kegiatan pemberitaan, propaganda maupun publisitas yang dilakukan secara terus menerus. Opini publik berpengaruh pada kehidupan politik dan sistem politik atau sebaliknya. Kaitannya dengan opini publik nasional, bahwa opini publik yang ada dibangsa ini tidak terlepas dari struktur kekuasaan. Jauh kedalam itu, dari sudut kompetensinya peranan opini publik nasional Indonesia sangat banyak. Berdasarkan analisis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, bentuk opini publik terhadap proses penegakan hukum terbagi atas dua kategori yaitu ; opini publik langsung dan opini publik tidak langsung. Pengaruh positifnya terdapat pada tataran kecermatan dan kehati-hatian dalam memahami fakta hukum dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat dan juga sangat memotivasi penegak hukum dalam menyelesaikan perkara dengan profesional. Pengaruh negatifnya beberapa bentuk penyaluran opini yang diberikan oleh masyarakat terkadang dapat menghambat proses penegakan hukum karena memberikan tekanan terhadap penuntasan suatu proses penegakan hukum, seperti penekanan secara psikologis terhadap saksi, korban bahkan pelaku. Beberapa bulan belakangan ini kita dikagetkan dengan kasus-kasus yang secara tidak langsung menceritakan tentang hubungan antara masyarakat awam, kekuasaan dan penegakan hukum. Saat ini masyarakat awam menilai hukum hanya akan berlaku perkasa ketika berhadapan dengan masyarakat awam, dan hukum akan tampak loyo ketika berhadapan dengan uang dan kekuasaan. Yang menjadi masalah adalah jika penegak hukum itu sendiri yang melanggar atau mengabaikan aturan-aturan hukum yang berlaku atas pertimbangan-pertimbangan subjektif, dan/atau menjadikan aturan-aturan itu peluang terjadinya aparat penegak hukum melakukan perbuatan tercela. Bagaimana mungkin kita bisa menuntut masyarakat patuh, sementara kewibawaan dan kredibilitas penegak hukum tidak baik. Lembaga-lembaga negara terutama yang bersinggungan langsung dengan penegak hukum harus menjalankan tugas dan kewajiban mereka dengan baik, dan aturan-aturan yang tidak tepat direvisi sebagaimana mestinya. Opini publik memang tidak dapat dilepaskan dari sistem politik demokrasi. Oleh karena itu, opini publik dianggap sebagai cerminan “kehendak” rakyat. Opini publik sendiri dapat dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap suatu kepentingan atas suatu masalah yang ada dan beredar di masyarakat. Memang kekuatan opini publik dalam ranah hukum adalah sebuah kekuatan baru sebagai penyeimbang bagi aparat penegak hukum dalam memutus suatu permasalahan hukum, namun demikian ketika kita berpedoman pada UUD 1945 dan aturan hukum yang berlaku di Negara kita yang menegaskan bahwa semua warga Negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, aparat penegak hukum diharapkan memiliki kearifan dan kemampuan dengan mengedepankan sikap profesional dalam melihat suatu kasus sebelum mengambil satu keputusan.

Edhopaju
Jakarta/8/18