Jumat, 13 Juli 2018

MEMBACAH DUNIAMU DARI KUBURKU

" Mengapa" kau menangis tersedu, seperti bocah dikekang uang jajan saja. Haru biru meyaksikan keberuntungan yang seakan terlempar jauh darimu, Menatap sendu, semua pandangan kosong tanpa gerak maupun jentik, seakan beku. Demikianah tapa konyolku. Tafakur tak sampai. Keburu lunglai, segala kesal yang membuncah dalam gelas. Tanpa kopi, sehingga segala pandangan menjadi buram, tiada kunang-kunang. Yang selalu menemani ketika berjalan di pematang dan kerap hinggap di bajuku. Saat pulang mengaji. Kini tiada. Semua percikan mati dan puntung-puntung rokok basi bak bangkai terasi. Sedulur papat kelima pancer. Energi yang empat menjadi tak seimbang ketika satu tiang pemancang tak mampu jadi kendali. Arus angin, air, bumi dan api tak bersinergi karena satu tatanan runtuh. Kiamat. Selembar kain kapan melayang-layang di pusat kota. Namun tak seorang melihat fenomena alam tersebut karena mereka telah menjadi penampakan nyata. Karena sejak itulah aku ingin pulang dari kota, menempumi kampung-kampung para leluhurku yang lama kutinggalkan. Sedu sedan tangismu pun mulai mereda, kini. Ketika segala kebusukan kau lempar ke galaksi terjauh!**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar