Selasa, 25 September 2018

DEMOKRASI DAN KEBODOHAN YANG MEMBODOHI

Demokrasi Kebodohan yang Membodohi Banyak tipu-tipuan yang dilakukan demokrasi, namun semua itu bisa dirangkum menjadi 2 (dua) hal pokok, yaitu tentang kedaulatan di tangan rakyat dan janji-janji politik. Kedaulatan di tangan rakyat adalah jargon utama dalam sistem demokrasi. 

Sejatinya itu adalah tipuan yang mudah dibaca, tapi sayangnya masyarakat sering silap dengan berbagai pendapat dan tulisan “ilmiah” oleh pada ahli yang mendukung “jargon” tersebut. Faktanya kedaulatan rakyat itu hanya berlangsung selama 5 (LIMA) MENIT di dalam kotak suara selama pelaksanaan Pemilu. 


Setelah itu kedaulatan mereka hilang diambil lagi oleh para penguasa (Eksekutif dan Legislatif) dan kemudian mereka ditinggal dan kembali lagi menjadi rakyat biasa yang tidak punya kekuasaan apapun juga. Tipuan lainnya adalah janji-janji politik terutama pada saat kampanye baik dalam Pemilu, Pilpres ataupun Pilkada. Janji-janji politik itu biasanya dibungkus dengan istilah visi dan misi. 

Visi merupakan pandangan kedepan yang berupa janji dan harapan yang akan terwujud jika si calon terpilih menjadi pemimpin. Sedangkan MISI adalah langkah-langkah untuk mencapai visi tersebut. Kenyataannya visi adalah ngelamun atau lamunan yang merupakan hadiah untuk rakyat dan misi adalah proyek-proyek yang merupakan milik si pemimpin. Selain itu tidak ada sanksi hukum apapun juga bagi calon yang terpilih jika ternyata dia melanggar janjinya. 

Dalam demokrasi kebohongan merupakan bagian dari cara berpolitik untuk mencapai tujuan. Untuk menutupi kebohongannya itu para ahli memberikan teori tentang pilar-pilar demokrasi, yang merupakan kelanjutan Trias Politica yang ternyata gagal membuktikan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Menurut mereka ada 5 pilar demokrasi yang merupakan wujud dari Kedaulatan Rakyat, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Pers dan Lembaga Swadaya Rakyat. 

Kenyataannya, rakyat yang dikatakan sebagai pemegang kedaulatan Negara tidak pernah mampu mangatur dan mengendalikan pihak eksekutif maupun legilsatif dalam menjalankan pemerintahannya. Mereka bekerja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang mereka buat sendiri yang acapkali bertentangan dengan kepentingan mayoritas rakyat. Bahkan seandainya mereka melanggar aturan yang mereka buat sendiri, rakyat tak mampu berbuat apa-apa. 

Demikian juga pihak yudikatif yang hanya punya kewajiban menegakkan undang-undang walaupun undang-undang itu merugikan bahkan menindas mayoritas rakyat. Bagaimana dengan Pers dan LSM? Pers yang seharusnya menjadi instrument bagi rakyat untuk mengontrol pemerintah dalam kenyataannya tidak bisa dibantah selalu dan “diharuskan” berdiri sesuai dengan kepentingan para pemilik modal. Dan para pemilik modal selalu berafiliasi kepada kelompok-kelompok politik yang merupakan bagian dari sistim oligarki dalam pemerintahan, yang sama sekali tidak terkait dengan kepentingan rakyat. 

Kalaupun ada media pers yang membela rakyat dalam suatu peristiwa politik serta berdiri dalam posisi vis a vis dengan pemerintah, “keberpihakan” media tersebut selalu terkait dengan kepentingan pemiliknya yang kebetulan ada satu kubu dengan kelompok politik yang menjadi pesaing dari pemerintah. Lalu bagaimana dengan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang katanya berfungsi sebagai kekuatan kelima untuk menjaga kedaulatan rakyat. LSM-LSM yang ada saat ini tentunya butuh biaya untuk kegiatan administratif dan operasionalnya. 

Pertanyaannya siapakah yang membiayainya? Rakyatkah? Sudah tentu bukan rakyat yang membiayainya, tetapi tentunya ada pihak lain yang bukan “rakyat” yang membiayai mereka. Sudah menjadi rahasia umum untuk kegiatannya banyak LSM-LSM yang datang ke pemerintah, baik itu pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, atau juga ada dari lembaga/lembaga atau perusahaan-perusahaan swasta, bahkan banyak juga LSM yang mendapat kucuran dana dari Negara-negara asing baik langsung maupun tidak langsung (melalui lembaga-lembaga nir laba milik asing). Pertanyaan selanjutnya, kalau bukan dari rakyat (dan memang tidak mungkin meminta ke rakyat) apakah mungkin mereka akan selalu menjadi alat kepentingan rakyat? Apalagi kalau kepentingan pemberi dana bertentangan dengan kepentingan rakyat.

1 komentar: