Rabu, 19 Desember 2018

KOPI ASIN SANG PENULIS

(Kebohongan Yang Indah)

Dia bertemu dengan gadis itu di sebuah pesta, gadis yang menakjubkan. Banyak pria berusaha mendekatinya. Sedangkan dia sendiri hanya seorang laki² biasa. Tak ada yang begitu menghiraukannya. Saat pesta telah usai, dia mengundang gadis itu untuk minum kopi bersamanya. Walaupun terkejut dengan undangan yang mendadak, si gadis tidak mau mengecewakannya.

Mereka berdua duduk di sebuah kedai kopi yang nyaman. Si laki² begitu gugup untuk mengatakan sesuatu, sedangkan sang gadis merasa sangat tidak nyaman. "Ayolah, cepat. Aku ingin segera pulang", kata sang gadis dalam hatinya. Tiba² si laki² berkata pada pelayan, "Tolong ambilkan saya garam. Saya ingin membubuhkan dalam kopi saya." Semua orang memandang dan melihat aneh padanya. Mukanya kontan menjadi merah, tapi ia tetap mengambil dan membubuhkan garam dalam kopi serta meminum kopinya.

Sang gadis bertanya dengan penuh rasa ingin tahu kepadanya,"Kebiasaanmu kok sangat aneh?". "Saat aku masih kecil, aku tinggal di dekat laut. Aku sangat suka ber-main² di laut, di mana aku bisa merasakan laut... asin dan pahit. Sama seperti rasa kopi ini",jawab si laki². "Sekarang, tiap kali aku minum kopi asin, aku jadi teringat akan masa kecilku, tanah kelahiranku. Aku sangat merindukan kampung halamanku, rindu kedua orangtuaku yang masih tinggal di sana", lanjutnya dengan mata berlinang. Sang gadis begitu terenyuh. Itu adalah hal sangat menyentuh hati. Perasaan yang begitu dalam dari seorang laki² yang mengungkapkan kerinduan akan kampung halamannya. Ia pasti seorang yang mencintai dan begitu peduli akan rumah dan keluarganya. Ia pasti mempunyai rasa tanggung jawab akan tempat tinggalnya. Kemudian sang gadis memulai pembicaraan, mulai bercerita tentang tempat tinggalnya yang jauh, masa kecilnya, keluarganya... Pembicaraan yang sangat menarik bagi mereka berdua. Dan itu juga merupakan awal yang indah dari kisah cinta mereka. Mereka terus menjalin hubungan. Sang gadis menyadari bahwa ia adalah laki² idaman baginya. Ia begitu toleran, baik hati, hangat, penuh perhatian... pokoknya ia adalah pria baik yang hampir saja diabaikan begitu saja. Untung saja ada kopi asin !

Cerita berlanjut seperti tiap kisah cinta yang indah: sang putri menikah dengan sang pangeran, dan mereka hidup bahagia... Dan, tiap ia membuatkan suaminya secangkir kopi, ia membubuhkan sedikit garam didalamnya, karena ia tahu itulah kesukaan suaminya.

Setelah 40 tahun berlalu, si laki² meninggal dunia. Ia meninggalkan sepucuk surat bagi istrinya:"Sayangku, maafkanlah aku. Maafkan kebohongan yang telah aku buat sepanjang hidupku. Ini adalah satu²nya kebohonganku padamu---tentang kopi asin. Kamu ingat kan saat kita pertama kali berkencan? Aku sangat gugup waktu itu. Sebenarnya aku menginginkan sedikit gula. Tapi aku malah mengatakan garam. Waktu itu aku ingin membatalkannya, tapi aku tak sanggup, maka aku biarkan saja semuanya. Aku tak pernah mengira kalau hal itu malah menjadi awal pembicaraan kita. Aku telah mencoba untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Aku telah mencobanya beberapa kali dalam hidupku, tapi aku begitu takut untuk melakukannya, karena aku telah berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun darimu... Sekarang aku sedang sekarat. Tidak ada lagi yang dapat aku khawatirkan, maka aku akan mengatakan ini padamu: Aku tidak menyukai kopi yang asin. Tapi sejak aku mengenalmu, aku selalu minum kopi yang rasanya asin sepanjang hidupku. Aku tidak pernah menyesal atas semua yang telah aku lakukan. Aku tidak pernah menyesali semuanya. Dapat berada disampingmu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Jika aku punya kesempatan untuk menjalani hidup sekali lagi, aku tetap akan berusaha mengenalmu dan menjadikanmu istriku walaupun aku harus minum kopi asin lagi."

Sambil membaca, airmatanya membasahi surat itu. Suatu hari seseorang menanyainya, "Bagaimana rasa kopi asin?", ia menjawab, "Rasanya begitu manis."..

#kopi asin sang penulis
Untuk apa mencita hal yg manis...asin..juga perlu kaan..???

Oleh:edo paju

Rabu, 14 November 2018

SHADAT DALAM NATAL

SAHADAT DALAM NATAL “Bangsat...!!” “Keparat..!!!” “dengan Bualan-bualan Manismu hatiku kau sumbat” “dan dengan bodoh, aku pun terjerat” “kau renggut semua dengan hawa nafsumu yang sesat” “aku hina dan kau kulaknat” Begitu kuat cacian itu menuju gendang telingaku.

Segera lensa mata ini memutar ke sudut-sudut tak terbatas, mencari arah sumber cacian itu berada. hingga sungsang bola mata ini mendapati sosok wanita jalang ditengah lorong yang berlumut. Segera ku tatapnya dalam-dalam dan terbesit sedikit niatan menghampirinya, memastikan bahwa dia memang benar-benar makhluk bernyawa, tetapi urung kulakukan. Wanita itu menatapku dengan lebih dalam, penuh amarah. dalam dengan penuh amarah. ku langkahkan kaki menjauhi tempat itu, berlalu menuju duniaku. Namun raut muka buram wanita jalang dengan pakaian lusuh yang membalut tubuhnya serta rambut yang terurai tak terurus terus memenuhi otak ku hingga dunia malamku. “Metro Cave” disinilah aku habiskan separuh lebih malam dengan kawan- kawan sebayaku. Kali ini Sambutan music dari DJ Hand dan gemerlap lampu disco tak begitu membuatku antusias. Hingga ku putuskan mengisi sofa merah jambu dekat pintu keluar bersama teman mungilku, botol-botol berbintang satu.
Beginilah caraku membunuh malam.

Malampun berlalu. Namun entah mengapa pikiran tentang wanita sore lalu awet hingga pagi mendatangiku. “Mutia, mamah pergi dulu ya..” kata suster gereja itu dari balik pintu kamarku. “Iya mah..”sahutku lemas Lagi-lagi sosok wanita jalang sore lalusinggah dipikiran. Siapa dia?, mengapa dia? Dan sepertinya aku mengenalnya. Tiba-tiba pikiran mengenalnya muncul dari benak kalbu. Hingga membuat diri ingin cari tau. Pagi pun berganti, kembali ku susuri jalan tak bernyawa sore tadi, rasa penasaranpun semakin lekat menyelimuti setiap jengkal langkahku.

Kali ini seperti biasa, benda seolah mematung seperti pemuja mamah. Dan sontak mata ini terperangah ketika ku dapati sosok Maria di hadapanku. “Maria...!!!!” sebutku. Dia adikku, dan perawakannya persis dengan wanita jalang tempo lalu. “Kak, aku memang Maria, tapi mengapa kisah ku sama seperti Maria?, Aku bakal punya anak tak berbapak. Sama ketika Maria beranak Isa...”kata Maria lirih “Kata mamah, Nabi Natan itu mulia, sama ketika aku bertemu Jonathan, teramat mulia, hingga geram dada ini sesak mengingatnya. Dan sama ketika papah selalu mengagung-agungkan Nabi Muhammad, ketika itu pula aku mengagungkan sosok Muhammad, tapi sosok Muhammad kali ini lain dari yang digambarkan papah.

Dia juga yang membuatku Hina tanpa iba.” lanjutnya “ Papah-mamah bohong...! tentang nama-nama yang diagungkannya semuanya salah”. Bentak maria penuh amarah Aku hanya sanggup menghela nafas dalam-dalam. “Natan pergi dengan bualan-bualan manisnya, begitu pula Muhammad mulut berbisa tak bermakna.” Tutur maria “Kak, aku bukan bunda Maria yang suci seperti yang dikatakan mamah, aku Maria penuh dosa, keluarkan aku dari jerat neraka yang diceritakan papah, dan bebaskan aku dari murka yesus yang selalu di bilang mama ketika kita berdosa.”lanjutnya dengan raut yang begitu memucat. Angin seperti bisu, hingga detak suara jantung pun nyaris tak kudengar. “Rasa malu menggunung, pada Allahnya Mamah dan Allohnya Papah. Diri hina dan tak pantas menyandang status anak suster gereja, apalagi anak pendakwah seperti papah”. Lanjutnya dengan suara lirih.

Sesaat aku teringat siapa orang tuaku. Mereka pemuka agama di agama mereka masing-masing, berbuat demi kesejahteraan umat dan kami terlantar tak berdaya. Yang aku dengan kesibukan gemerlap dunia malamku. Dan maria adikku dengan kesibukannya bersama lelaki tak bermuka. Kami gelap. Dan mereka seolah bercahaya dihadapan Tuhan mereka. Ajaran saling merhargai yang mereka terapkan sejak dini membuat kami tak berpedoman satu. Dihadapanku maria nampak pudar memucat, dengan lusuh diri aku mencoba kuat menopang Maria. Perlahan ku ajaknya berdoa di gereja, di hadapan tanda salib yang selalu disucikan mamah. Entah apa yang ada didalam bait do’a Maria, ia nampak tenang dalam balutan injil yang digenggamnya. Seolah rahmat tuhan telah memeluknya. Senyum terurai melihat maria menemukan injil Isa, dengan tegak ku langkahkan kaki dan berlalu.

Suster cantik dialah mamahku, ia tersenyum menatapku seolah menunjukkan disini bukan tempatku. Di penjuru dunia, lantunan kebesaran tuhan pun lantang dilantunkan “ALLAHHU AKBAR, ALLAH HUAKBAR, ALLAH HUAKBAR, LAILAHAILLALLOH HUWALLOH HUAKBAR, ALLAHHU AKBAR WALILLAH HILKHAM”. Kericuhan penantin kado sang santa dan kedamaian natal menjadi hiasan dimalam Idul Fitri ini. Iya tanggal 25 Desember benar-benar 1 syawal. Bintang pejamkan mata, dan aku Mutia dengan Syahadat dalam Al-qur’an.

Karya:khariz a samsul.disadur oleh:edho paju

AROMA NATAL BULAN NOVEMBER.SANTA UNTUK PERMOHONAN

Aku menatap kaos kaki merah yang terpasang di dinding kamar. Kaos kaki berbentuk lucu yang merupakan hiasan yang biasa dipakai oleh mereka yang merayakan natal. Seumur hidup aku tidak merayakan apa yang dinamakan natal, itu karena orangtuaku mengenalkanku pada keyakinan akan kebajikan, karma, dan reinkarnasi… Bahwa apa yang kulakukan di dunia saat ini nantinya akan mendapat balasan kehidupan setimpal di kehidupan yang akan datang…

karena itulah mami marah besar saat aku membawa kaos kaki itu, mungkin wanita itu mengira aku akan berpindah keyakinan…tapi bukan itu yang ada di pikiranku… Aku mendengar tentang sosok bernama Santa Claus ini…sosoknya seorang pria bertubuh tambun dengan rambut dan jenggot lebat seputih salju dan dia punya kebaikan hati untuk mengabulkan permintaan apapun sebagai hadiah natal. Rasa penasaran pada sosok yang satu itu membuatku bertanya pada Serafina, sahabatku, tepat setahun lalu di tanggal yang persis sama seperti hari ini…

“Bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumah?” tanyaku. “Sebagian besar orang bilang lewat cerobong asap,” jawab Serafina. “Tapi bagaimana kalau rumah kita tidak punya cerobong asap? Rumah di Indonesia mana ada yang punya yang begitu?” “Ada yang bilang lewat jendela yang terbuka atau celah apapun yang disediakan rumah kita,” kata Serafina. “Bagaimana bisa? Badannya kan gemuk…mana bisa dia lewat?” “Nggak tahu, deh ! Aku kan bukan Santa Claus jadi maaf ya kalau nggak bisa jawab pertanyaan elu,” kata Serafina tak sabaran. “Kenapa sih tiba-tiba elu tertarik sama Santa Claus?” “Kemarin lihat film natal dan kayaknya seru aja lihat kalian menggantung kaus kaki lalu menulis permohonan buat Santa Claus supaya dapat kado…” “Tradisinya memang begitu. Tapi Santa Claus hanya legenda.” “Legenda bagaimana?” “Tidak ada yang namanya Santa Claus.” “Jadi tokoh itu hanya buatan orang Kristen saja?” “Bukan. Sosok yang sesungguhnya memang ada, Santo Nicholas yang hidup di Yunani pada abad ke-4 dimana dia memang suka memberi hadiah buat orang miskin, janda, dan anak-anak. Sosok Santo itu memang mirip dengan yang kamu bilang, berjenggot tebal dan selalu mengenakan jubah. Namanya berganti dari Santo Nicholas menjadi Sinterklas lalu Santa Claus pada abad pertengahan…” “Aku nggak tertarik sama uraian sejarah,” kataku memasang tampang mengantuk. “Hahaha…sorry aku kira…” Serafina jadi salah tingkah. ”Aku cuma mau kasih tahu kalau sosok yang menginspirasi Santa Claus itu memang ada...bukan buatan…” “Nah, berarti dia memang ada kan?” kataku bergairah.

“Ya ada…nggak maksudnya nggak adanya itu karena…” “Sudah, deh ! Kok jadi repot banget jawab pertanyaan seperti itu? Yang aku ingin tahu apa kamu percaya bahwa Santa Claus ini memang bisa mengabulkan permintaan?” Serafina kelihatan bimbang sejenak namun akhirnya dia tersenyum,”Waktu kecil aku mempercayainya…dia memberikan kado-kado di bawah pohon natal di rumahku saat malam natal…tapi setelah dewasa…aku belum pernah mengajukan permintaan lagi…” “Kenapa? Kamu terlalu sibuk?” “Nggak, mungkin karena aku mempercayai yang lain?” “Mempercayai yang lain? Maksudnya?” “Ya, mempercayai bahwa aku bisa mendapatkan sesuatu bila aku berusaha keras. Tidak lagi ingin bergantung pada satu sosok yang harus ditunggu kedatangannya setahun sekali…” “Tapi dia tetap datang memberikan kadonya?” “Sayangnya tidak. Dia akan hilag begitu kamu tidak lagi percaya padanya.” “Aku ingin percaya padanya.

Bagaimana caranya melakukan itu?” “Maksudnya?” “Supaya aku mendapat hadiah darinya.” “Lia, aku…nggak tahu deh…kupikir Santa Claus itu hanya khayalan di masa kanak-kanak saja…jadi rasanya nggak mungkin…” “Soal mungkin atau nggak mungkin biar aku yang pikirin. Jadi bagaimana supaya dia bisa mengabulkan permintaanku?” “Ada syaratnya…jadi anak baik selama setahun…” “Setahun?” aku terbelalak. “Dan harus apa supaya dia berpendapat aku baik?” “Melakukan apa yang seharusnya dilakukan orang-orang baik mungkin…” Serafina mengangkat bahu. “….apapun yang dilakukan Santo Nicholas.” “Rasanya setahun tidak cukup untuk melakukan itu semua…” aku bergumam sendiri. “…tapi itu semua memang yang diajarkan di agamaku…lalu apa bedanya supaya Santa Claus melihatnya?” Serafina tersenyum,”Kaos kaki.” Aku mengangkat alis kebingungan,”Kaos kaki?” “Beli kaos kaki, gantung di dinding, tuliskan permohonanmu di secarik kertas, dan masukan ke dalam kaos kaki. Itu yang membedakan…” “Kalau aku melakukan itu…apa aku bisa mendapat kado yang bukan materi?” tanyaku terus mencecar. “Misalnya?” “Peristiwa mungkin? Atau suatu cita-cita?” aku menjawab dengan berandai-andai.

“Apa dia pernah mengabulkan permintaan misalnya mempertemukan kembali dua saudara yang terpisah sejak kecil atau menyatukan keluarga yang terpecah?” Serafina mendesah panjang,”Aku nggak tahu soal itu, Lia. Yang aku tahu Santa Claus lebih sering memberi kado berupa barang tapi…mungkin saja sih karena dia disebut pembawa keajaiban natal…jadi kemungkinan itu tetap ada…” Oke…kalau memang aku bisa mendapatkannya maka kaos kaki rasanya tidak sulit… Jadi aku membeli kaos kaki yang dimaksud dan menggantungnya di dinding dengan segera.

Kupikir aku tidak boleh buang-buang waktu karena permintaanku tergolong berat dan Serafina mengatakan kalau Santa Claus lebih senang bila semuanya dimulai sejak awal. Hampir genap setahun sudah benda itu menghiasi dindingku namun itu bukan hanya sebagai penghias.

Kaos kaki itu menjadi motivasi dan pengingat supaya aku tetap berusaha melakukan yang terbaik menjadi ‘anak baik’ seperti yang dikatakan Serafina. Tidak mudah memang di tengah kekacauan hidup, tapi aku berhasil membujuk perusahaan rekamanku menyumbangkan sebagian pendapatannya dari penjualan albumku untuk membantu biaya sekolah beberapa anak panti asuhan, mengajak mami berjalan-jalan ke negara yang selalu menjadi mimpinya untuk didatangi yakni Cina, meluangkan hampir sebagian besar waktuku buat mendengarkan keluh kesah teman-temanku dan memberikan ucapan motivasi bahwa apa yang mereka alami mungkin tidak seberat apa yang sedang kuhadapi, bersyukur senantiasa tiap hari dan belajar tidak mengeluh saat hal-hal buruk terjadi di tiap menitnya…

Aku menikmati itu semua…dan ternyata orang-orang di sekitarku juga merasakannya… mereka bilang aku berubah…tidak ada lagi Lia yang tanpa gairah hidup, tidak ada lagi Lia yang suka mengomel, tidak ada lagi Lia yang manja dan suka mengasihani diri sendiri. Setiap hari yang ada di pikiran hanya menambah daftar tentang apalagi yang bisa kulakukan buat orang lain, supaya aku mempertebal kepastian jenjang tingkatan sebagai anak baik dalam buku versi Santa Claus.

Dan kesemuanya kulakukan sampai hari ini…jadi hari inilah penentuannya…hari ini aku akan melihat apakah legenda tentang Santa Claus itu bisa dipercaya. Aku menjadi bersemangat sekali karenanya, terlebih saat menatap kaus kaki itu dan itu membuat mami yang sedang masuk ke kamarku jengkel, “Masih juga kamu pandangi kaus kaki buluk itu?” “Itu namanya kaus kaki harapan ke Santa Claus, mami.” “Kalau mau berharap jangan sama tokoh dari budaya asing.” “Kalau itu bisa mendatangkan harapan buat kita memangnya kenapa, mami?” “Itukah yang membuatmu bersemangat begitu?” “Kan aku juga tidak pindah kepercayaan seperti yang mami tuduhkan.” “Tapi tetap saja kamu terobsesi dengan benda jelek itu.” “Sudahlah, kan mami sendiri juga bilang aku berubah.” Tiba-tiba mata wanita itu melembut,”Mami takut kehilangan kamu.” “Kenyataannya seperti itu, mam. Tapi semuanya pasti akan berakhir dengan baik.” “Itukah yang kamu tulis di dalam kaos kaki itu?” “Mami boleh melihatnya setelah aku mendapat kadoku dari Santa Claus.” Wanita tua itu mendengus,”Terserahlah…bersiaplah pergi ke gedung konser.

Panitia sudah menjemput!” “Aku sudah siap, mi…” kataku dengan menenteng tas besar berisi biola dan bersiap-siap keluar dari kamar. Sebelum meninggalkan rumah aku sempat mendengar mami berkata, “Setelah tahun baru kaus kaki buluk itu akan mami buang. Sudah muak melihatnya menggantung selama setahun di kamarmu itu.” Aku hanya diam… Tetap diam dan mematung seperti yang kulakukan di dalam gedung konser penuh sesak malam itu…sekitar 30.000 undangan memenuhi kursi-kursi yang terhampar di depan serta sisi kiri dan kanan panggung.

Aku tak tahu bagaimana nada-nada biola bisa memabukan orang-orang untuk datang mendengarkanku, bukannya tidak mensyukuri apa yang kudapat namun dulu rasanya lebih masuk akal bila orang-orang datang untuk mendengarkan penyanyi bersuara merdu daripada hanya seorang penggesek biola.

Yah, jaman mungkin sudah berubah… Musisi yang hanya bisa memainkan alat musik tanpa kemampuan bernyanyi seperti Yovie Widianto atau Santana pun pertunjukannya bisa dibanjiri puluhan penonton dan disinilah diriku…berdiri dengan gaun sutera biru muda yang memendarkan cahaya mengilau di tengah panggung dengan biola terpasung diantara bahu dan daguku. Mau dikata apalagi….inilah konser tunggalku….sebuah ajang besar sebagai apresiasi tertinggi dari apa yang sudah kulakukan selama ini… Lagu kesepuluh usai terlantun dan lagi-lagi tepukan membahana sebagai pertanda pujian meruah diarahkan padaku. Seperti boneka yang terlatih aku tersenyum kemudian membungkuk memberi hormat.

Orang-orang ini mencintaiku…dengan segala kekuranganku…dan aku juga mencintai mereka sehingga di lagu terakhir ini aku ingin memberikan pemuncak yang pantas mereka dapatkan… The Neo of Moonlight Sonata… Aku menggarap sendiri harmoni klasik karya agung Beethoven ini dengan paduan musik retro dan gamelan bali…hasilnya album perdanaku Violiane cukup sukses. Sesuatu yang diluar perkiraan semua pihak, perusahaan rekaman ataupun aku sendiri, sebab aku membuatnya memang bukan dengan maksud mencari sukses…hanya menyalurkan apa yang membuatku bahagia…apalagi kalau bukan musik yang bagus.

Dan di saat jemariku menari-nari diatas senar menemani harmoni yang mengalun melenakan telinga sekitar 30.000 penonton di depan panggung itu, pikiranku terhanyut pada semua masalah yang menjadi latar belakang semua ini…satu nama itu memenuhi benakku… Koko… Karena dialah aku mendapatkan penyakit terkutuk ini…HIV Positif…yang berubah menjadi AIDS seiring bulan demi bulan di saat menjalani perawatan yang tanpa hasil. Untungnya sampai kini aku berhasil menutupi segala sesuatu dari mami sehingga aku tampak selalu sehat meski aku tahu dia sudah mulai curiga dengan hilangnya berat badanku secara perlahan.

Meski begitu aku tidak bisa menyalahkan Koko sepenuhnya. Berkat dia aku masih bernafas sampai saat ini, hanya dia yang berani mengeluarkanku dari dasar samudera ketika hiu mulai mengelilingiku. Ketololanku, atau mungkin juga terlalu asyiknya bercanda dengan teman-teman, yang membuatku lengah sampai ombak menyeretku dan aku nyaris berujung maut. Saat itu yang kudengar hanya teriakan teman-temanku…yang paling keras salah satunya Serafina…tapi tak ada satupun dari mereka berani terjun kesana menyelamatkanku sampai lelaki itu datang menghampiriku dan berusaha mengusir hiu-hiu itu dengan caranya yang sembarangan yang membuat dia juga diserang habis-habisan.

Aku kehilangan kesadaranku saat dia berhasil menarikku ke tepian dan hanya ingat bahwa tubuhnya bersimbah darah. Melihatku tidak bergerak membuatnya panik. Dia menguncang tubuhku berkali-kali dan meneriakan namaku supaya aku bangun, “LIA…SADAR LIA…” tapi aku tidak bergeming. Di tengah kekalutan itu entah pikiran darimana Koko bisa memberikan nafas buatan padaku, dan itu membuatku tersentak kembali dalam dunia nyata…antara tidak terima seorang lelaki berani menciumku di saat aku tidak berdaya atau nafasnya yang bau…entahlah, tapi di detik itu juga aku memuntahkan air asin banyak sekali… Di saat teman-temanku segera mengerubutiku, sang pahlawan itu justru pergi diam-diam. Tadinya aku mengira dia malu untuk mengakui di depan umum bahwa dia menjadi pahlawan buatku…padahal kalau mau jujur aku sama sekali tidak malu buat mengakuinya bila dia menginginkannya.

Hanya saja kenyataan pahit harus kuterima belakangan. Kenyataan yang kudapati saat memeriksakan diri ke dokter setelah merasakan banyak hal aneh terjadi padaku sejak peristiwa itu. Jawaban para ahli kesehatan itu jelas dan pasti…aku positif AIDS ! Aku sangsi AIDS ditularkan lewat air liur, namun tubuh Koko memang penuh darah, dan dari berita yang kudapati setahun lalu Koko memang meninggal gara-gara penyakit laknat itu. Aku tidak berminat mencari tahu bagaimana Koko bisa sampai terjangkit penyakit memalukan seperti itu…itu sudah tidak penting lagi…yang terpenting bagaimana bertahan menghadapi penyakit ini.

Dalam pertarungan yang seakan tanpa ujung dan kelelahan itu akhirnya aku mendengar sosoknya…dimana darinya aku berharap bisa mendapatkan akhir yang baik dari semua yang telah kulalui. Aku ingin pulih. Aku ingin seperti sedia kala. Aku ingin normal. Dan aku ingin lepas dari semua kecemasan yang membelenggu…kecemasan bahwa sewaktu-waktu aku harus pergi dari dunia ini….meninggalkan keindahannya yang belum kurasakan untuk sepenuhnya… Aku sudah melakukan semua kebaikan yang kamu mau…. Apakah aku sudah menjadi anak yang baik untukmu? Tepuk tangan penonton membahana dan mereka semua berdiri mengelu-elukan.

Sekali lagi aku membungkuk dan memberi hormat sebelum akhirnya pergi menuju ruang ganti. Ketika melangkah menuju ruang ganti aku tidak merasakan apa-apa sama sekali… Penyerahan penghargaan atas kegiatan amal ataupun tepukan pujian atas konser yang berhasil tidak lagi menggetarkan hatiku seperti kali pertama merasakannya di saat albumku keluar. Satu-satunya yang membuatku berdebar saat ini mungkin hanya momen yang sebentar lagi akan datang….momen sehari menjelang natal dimana sosok itu akan datang memberikan kado dari permintaan yang diberikan kepadanya… Dan aku melangkah tanpa rasa ke ruang ganti itu. Duduk termangu selama hampir setengah jam lamanya tanpa melakukan apapun sampai terdengar ketukan di pintu… TOK… TOK… TOK… “Masuk…” Aku duduk menatap kaca, benda itu merefleksikan gambar di belakangku sehingga aku bisa melihat pria yang masuk ke ruang gantiku. Aku tidak mengenalinya pertama-tama, namun dari tatapannya yang jenaka aku langsung sadar, “Om Karel?” “Malam Lia…” “Aku turun dari kursiku dan pergi memeluknya. Dia memang sudah seperti ayah buatku. Om Karel, boss perusahaan rekamanku inilah yang akhirnya meluluskan permohonanku untuk mendermakan sebagian uang penjualan albumku. Sudah lama aku tak melihatnya, dia memang sibuk bepergian untuk urusan bisnis, maka dari itu aku tidak langsung mengenalinya sebab perutnya sudah membuncit dan dia membiarkan janggut tumbuh menghiasi rahang dan dagunya.

“Pertunjukan yang luar biasa,” kata pria itu seraya menyerahkan karangan bunga mawar yang dibawanya. “Cantik sekali…makasih om Karel.” “Dan sekarang apakah kamu siap menerima kado natalmu?” Aku mendongak, menatap wajah Om Karel dengan bingung, ”Maksud, om?” Pria itu tersenyum dan menjentikkan jari. Jendela ruangan yang berada di lantai dua itu terbuka dan saat dia melangkah mendekati jendela tersebut aku melihat sebuah kereta yang ditarik delapan ekor rusa diluar sana.

“Bagaimana…bagaimana bisa?” aku terkesiap. “Kamu yang mengatakan sendiri kalau ini keajaiban natal?” “Ya…tapi dari om Karel?” “Aku bisa datang dari manapun, Lia ! Memangnya orang seperti apa yang kamu harapkan?” Aku mengangkat bahu,”Entahlah…pria gendut berjenggot perak?” “Hohohoho…” om Karel tertawa. “Sepertinya orang yang kukenal. Tapi kamu pasti lebih suka berada dekat dengan orang yang wajahnya sudah kamu kenal, bukan?” “Ya…” “Kalau begitu ikutlah aku…” “Kita kemana?” tanyaku masih ragu. “Untuk mengambil kadomu. Supaya kamu bebas dari rasa sakitmu.” Mendengar itu aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya.

Aku mengikuti om Karel naik ke kereta itu, yang ternyata dalam keadaan melayang diluar jendela lantai dua tersebut, sempat ketakutan aku bermaksud kembali ke ruangan itu namun di saat itulah aku melihat sosok seperti diriku…tengah duduk termangu menatap kaca, namun dengan posisi yang aneh karena sepertinya aku sudah….mati… “Apa yang…” Om Karel mendesis menyuruhku diam,”Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja. Kamu akan mendapat kadomu, anak baik.” Lelaki itu menggebah tali kekang sehingga kedelapan rusa segera berlari… membuat kereta terbang ke langit malam yang bertabur bintang sementara lonceng di leher para rusa itu pun berdencing-dencing seakan menyanyikan suatu pujian yang tak asing di telingaku. Diantara dentang harmoni lagu itu aku bisa melihat wajah mami yang saat itu tengah mengambil surat dari dalam kaos kaki merah di kamar…aku tersenyum…akhirnya mengerti…dan mami pasti juga akan mengerti setelah membaca permohonan yang kutulis disana…

Dear Santa Claus…

Aku tidak tahu apakah engkau mengabulkan doa dari orang yang agamanya tidak mengenal engkau seperti aku ini. Tapi dari temanku, aku tahu kalau kamu sama seperti Budha… mencari kebaikan…dan orang yang mencari kebaikan tentu tidak akan menolak memberi kebaikan pada orang, bukan? Dari kebaikan yang kulakukan aku tahu Budha memberikan kehidupan berikut yang lebih baik tapi kamu memberikan kado natal darinya. Dan untuk itu boleh aku memintanya darimu? Semua orang yang mengalami penyakit sepertiku pasti minta kesembuhan, dan aku bukannya tidak meminta mukjizat itu, tapi aku sadar aku mungkin tidak akan bertahan lama.

Karena itu ijinkan aku melakukan kebaikan yang kamu inginka selama setahun ini, sebagai imbalan kado natal untukku darimu. Aku minta kado natal berupa kematian darimu. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa aku memintanya sementara aku melakukan kebaikan sebelumnya. Itu tidak lain karena aku berpikir uang yang kumiliki sebaiknya kuberikan kepada mami daripada digunakan untuk pengobatanku yang sudah pasti memakan biaya besar. Aku sudah menyiapkan sejumlah dana untuk membeli tanah dan membangun rumah mungil supaya mami tidak perlu mengontrak-ngontrak lagi, dan rasanya hanya itu yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan wanita yang sudah membesarkanku dengan susah-payah itu.

Dengan kematian cepat aku juga tidak perlu menghancurkan hatinya dengan berbagai praduga soal AIDS yang menggerogoti tubuhku ini sebab tidak ada yang patut dipersalahkan. Koko hanya menolongku dari tenggelam dan kalau hanya seorang penderita AIDS yang bersedia menolongku dari tenggelam di samudera mungkin itu memang sudah takdir, dan aku tidak mau Koko dipersalahkan… Hanya itu kado yang kuminta untuk natal kali ini…dengan kematian bisa mempercepat langkahku menuju dunia berikutnya yang telah disiapkan Budha untukku…dan aku percaya Santa Claus bisa memberikannya padaku sebab engkau itu keajaiban natal…

Minggu, 11 November 2018

ROBUSTA TERAKHIR

You can’t buy happiness, but you can buy coffee. And that’s pretty close.

“Ini untukmu, robusta favoritmu,” aku menyodorkan beberapa kemasan kopi robusta favoritmu. Aku baru saja pulang dari Temanggung setelah beberapa hari ada pekerjaan dan menginap di sana. Temanggung memang dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbesar di Jawa Tengah. Dan robustanya terkenal dengan aroma yang lebih harum dibandingkan dengan robusta yang berasal dari daerah lainnya, cita rasa kopi ini tak akan ditemukan pada cita rasa kopi di daerah lainnya.

“Ini favorit kitaaaaa!” ucapmu setengah berteriak.

Kamu mulai bergegas ke pantry, mengambil dua buah cangkir kemudian meracik robusta tersebut untuk kita.

“Secangkir robusta untukku, dan secangkir lagi untukmu,” kamu meletakkan secangkir kopi itu persis di depanku. “Oh iya, secangkir kopi yang ini telah aku tambahkan dengan beberapa sendok cinta,” lanjutmu.

“Jadi secangkir kopi yang akan aku minum terdiri dari 50% robusta asli, dan 50% rayuan gombal?” ucapku, menerka-nerka.

“Kamu salah.”

“Lalu? Yang benar apa?”

“Robustanya hanya terdiri dari 10% saja, sementara 90% sisanya adalah perasaan cintaku yang tak terbantahkan.”

“Okay, and you are the winner,” ucapku sambil menciumi aroma robusta yang begitu harum.

Kami berdua memang memiliki hobi yang sama, sama-sama mencintai kopi. Dan karena kopi pula-lah kami berdua dipertemukan. Aku berkenalan dengannya pada acara Kontes Kopi Jakarta yang membawanya menjadi juara ke-dua tingkat Nasional.

Pada saat itu mataku tak henti menatap keahlian tangannya dalam meracik kopi, atraksi demi atraksi ia tampilkan, dan pada saat itu pula aku merasakan ada getaran yang berbeda. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Mengapa tidak.

Meraih juara dua tingkat nasional membuat kedai kopinya tak pernah sepi terhadap pembeli.  Racikan kopinya semakin dikenal dan semakin memikat banyak pecinta kopi di Jakarta. Dan aku harus paham betul dengan kesibukannya itu. Waktunya tak banyak untukku, jika aku mau, akulah yang harus mengunjunginya. Sementara jika weekend telah tiba, kami lebih senang menghabiskan waktu untuk bekerja bersama, di mana lagi bila bukan di kedai kopi miliknya.
***

Ada yang berubah dari sikapnya beberapa minggu belakangan ini. Dingin. Bahkan dinginnya melebihi suhu udara malam ini yang diterpa hujan dan angin yang cukup kencang.

“Aku mohon maaf.”

“Maaf untuk apa?” jawabmu dengan wajah yang datar, sementara tanganmu sibuk meracik kopi beberapa pengunjung yang datang.

“Jika ada hal-hal yang membuatmu terluka.”

Kamu menggeleng, tersenyum, namun bukan senyummu seperti yang dulu. Setidaknya begitu yang aku rasakan.

“Kopi buatanmu tak lagi senikmat dulu,” tambahku.

“Maaf, karena justru aku yang membuatmu terluka.”

“Maksudmu?” kali ini aku yang berganti bertanya.

“Aku tak lagi mencintai robusta seperti dulu, begitupun aku yang tak bisa mencintaimu lagi seperti dulu.”

“Apa salahku?”

“Kamu tak salah. Hanya saja aku telah melabuhkan hatiku pada hati yang lain, dia tengah menungguku di sana,” tanganmu menunjuk seorang wanita berparas cantik yang tengah duduk di sudut kedai. “Namanya Lani,” ucapmu lagi.

Aku tak memedulikan ucapannya barusan. Persetan dengan semua itu. Yang aku tahu secangkir robusta terakhir yang ia buatkan untukku kini telah mendingin, secangkir robusta yang sempat aku sesap, kini telah berubah menjadi secangkir air mata penuh luka.

Sabtu, 10 November 2018

DIBAWAH PERADUAN LANGIT BULAN NOVEMBER


Apa kabar langit?

Kau tau sekarang bulan sudah berganti. Oktober sudah meninggalkanku dan kini November datang menyapaku. Tentu dengan tawaran kenampakan yang berbeda di langitmu. Sang pemburu bersabuk deretan tiga bintang pun muncul menggantikan posisi musuh besar yang mengejarnya, sang kalajengking berjantung Antares. Pun dengan tawaran kisah yang berbeda yang terjadi di bawah naunganmu.

It was dawn at that time. Aku mengamati langit di atap rumah seperti biasa, ditemani beberapa potong roti. Sirius yang tertangkap indra penglihatku tepat di zenith, rupanya malu-malu untuk kutatap lebih lama lagi, karena saat itu juga handphoneku tiba-tiba berdering.

Tidak biasanya, batinku.

Pikir saja siapa yang meneleponku dini hari begini kalau bukan karena dia mengigau. Mau tak mau aku membuka handphone. Layarnya berkedip, menampilkan sederet nomer sang penelepon. Ku beranikan diri mengangkat, meskipun agak sedikit takut.

“Halo?”

“Ini Kisya?”

Deg, aku terkejut. Kenapa dia bisa tau namaku, batinku.

“Si, siapa ini?” aku agak terbata-bata.

“Ini bener Kisya, kan? Aku Faris. Do you still remember me?”

Tepat setelah kalimat pertanyaannya selesai sempurna tertangkap oleh indra pendengarku, memoriku sekejap memburat. Seakan berputar-putar di sebuah lorong waktu dan akhirnya terlempar ke waktu 9 tahun yang lalu. Masa SMP.

“Halo? Kisya? Masih disitu, kan?”

“Eh... I, iya...” aku gelagapan,”Faris? Iya, aku ingat…”

“Syukurlah...” terdengar ia seperti menghela nafas lega, sedang aku masih terdiam, bingung.

“Apa kabar, Kisya?” pertanyaannya memecah keheningan. Lebih tepatnya memecah lamunanku.

“Eh, baik,” spontan saja kemudian beberapa pertanyaan meluncur deras dari lisanku,”Faris, ada apa, ya? Kenapa menelepon dini hari begini? Bagaimana kamu bisa tau kalau aku pasti akan mengangkat teleponmu?”

Hening sejenak.

“Aduh, Kisya... Satu-satu dong tanyanya.”

Aku nyengir.

Well, Kisya, semua pertanyaanmu jawabannya hanya satu.”

Aku mengernyitkan dahi, heran, “Apa?”

Facebook,” ucapnya singkat, kemudian terdengar seperti suara terkekeh.

“Selama 2 bulan terakhir ini aku mengikutimu difacebook,” lanjutnya cepat, seakan tidak mau membuatku lama-lama dirundung keheranan, “Dan aku dapat nomermu dari sahabatmu, Siera.”

Whaat?” aku terkejut,”Are you kidding me? Faris, kamu gak ada habisnya buat aku terkejut-kejut dan jadi keheranan. God, mimpi apa aku semalem.” Tanpa sadar aku menepuk jidat.

Lagi-lagi terdengar suara terkekeh dari seberang telepon.

“Status-statusmu, Kisya. Aku tau kamu suka mengamati langit malam...”

*

Seminggu berselang sejak Faris meneleponku untuk yang pertama kali dan sudah seminggu itu pula malam-malam pengamatanku menjadi lebih ramai. Bukan hanya oleh “celotehan” bintang-bintang seperti biasanya, tetapi juga oleh celotehan dua anak manusia yang dipertemukan oleh sebuah alat komunikasi bernama handphone.

Banyak cerita yang bergulir selama seminggu ini. Saling bertukar pengalaman, bercerita tentang perjalanan hidup dan apapun, basa-basi, mungkin. Hingga bercerita tentang bintang-bintang. Menerjemahkan apa yang menjadi “celotehan” mereka ke dalam bahasa manusia. Suatu saat aku pernah bercerita tentang bagaimana sang pemburu bangsa Boetia yang tampan dan perkasa, Orion, dengan angkuhnya mengatakan akan memusnahkan semua hewan buas di Bumi dan mempersembahkannya kepada Aurora, kekasihnya. Namun pada akhirnya Orion justru tewas akibat lesatan anak panah Diana yang dikaburkan pandangannya oleh Apollo saat akan menolong Orion dari kejaran seekor kalajengking raksasa, Scorpio. Tragis. Sebuah cerita kolosal khas mitologi Yunani yang bertahan sampai sekarang.

“Kalau aku jadi Orion, aku tidak akan melakukan hal yang seperti itu...”

Suara dari seberang telepon itu membuatku terhenyak.

“Lantas?” aku bertanya usil.

“Daripada harus mengumbar perkataan akan memusnahkan semua hewan buas di Bumi, lebih baik aku katakan akan mempersembahkan semua bintang di langit kepada kekasihku,” Faris terdengar berapi-api.

“Kamu punya kekasih?” tanyaku spontan. Hampir tak sadar aku melontarkan pertanyaan itu.

“Eh?”

*

12 November 2013. Tepat pukul 1:30 dini hari. Aku terbangun. Seperti hari-hari sebelumnya. Yang berbeda mungkin satu hal. Handphoneku akan berdering beberapa menit setelah ini. Faris akan meneleponku. Dan seperti biasa, sembari menunggu, aku mengambil air wudlu dan melaksanakan qiyamul lail terlebih dulu.

Pukul 1:45 dini hari.

Aku telah selesai melaksanakan ritualku. Tapi handphoneku tak kunjung berdering. Aku memasak air untuk membuat segelas teh sekedar menemani pengamatanku hari ini, sembari sesekali melihat layar handphoneku—berharap Faris segera meneleponku.

Segelas teh hangat kini sudah menemaniku duduk di pelataran atap rumah, bersebalahan dengan handphoneku yang kubiarkan tegeletak begitu saja. Sesekali kutatap langit, kemudian mencuri-curi pandang ke arah handphoneku. Planisfer masih saja kugenggam, bersanding dengan gadget layar lebar yang tengah menampilkan peta langit digital. Perasaan gelisah mulai menjalari hati yang sudah lebih dulu dipenuhi tanda tanya.

Akhirnya aku tidak bisa menahan kegelisahanku. Kuketik sebaris kalimat pesan singkat untuk Faris.

Kemana? Belum bangun kah?|

Agak canggung memang. Karena aku sendiri tidak terbiasa berkirim pesan singkat dengan Faris. Lama kutunggu tak kunjung ada balasan. Hingga akhirnya aku cukupkan pengamatanku hari ini. Kuputuskan tidak aku lanjutkan hingga adzan Shubuh menjelang seperti biasanya. Lelah.

*

Adzan Shubuh membangunkanku. Masih mengerjap-ngerjap aku berusaha bangun dan agak menyeret langkah mengambil wudlu. Seusai shalat Shubuh, sengaja aku naik ke atap rumah. Menatap langit fajar tanggal 12 November. Menunggu hingga menyembulnya matahari dari ufuk timur. Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi pada diriku. Sejak dini hari ini, sejak Faris tidak menelepon dan membalas pesan singkatku, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Ada yang hilang. Aku merasa kehilangan. Dan seketika itu juga alur waktuku mendadak menjadi berjalan sedikitmellow. Suasana yang tidak biasa.

Huff... aku menghela nafas, membaringkan tubuh di pelataran atap rumah.

“Kisya..!”

Terkejut, aku terbangun. Suara ibuku terdengar memanggilku.

“Iya, bu...” aku segera beranjak turun ke dalam rumah. Mendatangi ibuku yang tengah berdiri menungguku. Sudut mataku menangkap sesuatu yang ibu bawa. Sebuah amplop coklat besar. Seakan bisa membaca pikiranku, ibu langsung menyodorkannya padaku.

“Ini ada surat. Diantar tukang pos tadi,” ibu menjawab tanpa sempat aku mengeluarkan sebuah pertanyaan.

Aku hanya mengangguk.

Segera setelah pamit ke dalam kamar, amplop coklat kubuka. Benar. Secarik kertas. Sebuah surat.

Dear, Kisya.

Maaf mungkin ini akan membuatmu sedikit terkejut. Dari tempatku disini, di kota batik akan kusampaikan sesuatu hal menuju tempatmu disana, di kota kembang. Sengaja aku menulis surat, dengan tega tanpa mempedulikan arus kecanggihan teknologi yang deras demi niatku ini.

Kisya... Maaf sekali lagi kalau mungkin aku sudah bersikap lancang dan membuatmu jadi merasa tidak nyaman. Sejak aku mengenalmu dan pada akhirnya selama seminggu kemarin kita bisa berkomunikasi kembali, aku merasakan hal yang berbeda. Ada sesuatu yang menelisik dan menggelitik perasaanku. Aku mencoba mencari-cari apa itu dan setelah sekian lama aku memikirkannya, aku merasa semakin yakin. Bahwa sebenarnya apa yang kucari itu sesuatu yang mungkin kita sebut ‘cinta’.

Kita sama-sama tau, baru seminggu kemarin kita berkomunikasi kembali setelah 9 tahun kita terpisah. Dan sangat tidak logis kalau waktu yang singkat itu bisa menumbuhkan perasaan cinta. Tapi sayangnya, cinta memang tidak mengenal kata ‘logis’. Cinta bisa tumbuh dimana saja dan kapan saja. Bahkan di atas tanah yang tandusketika kemarau sekalipun.

Aku tidak berharap banyak. Karena aku sadar betul siapa aku, dan siapa kamu. Aku tidak memaksamu untuk bisa menerima keberadaanku. Hanya kalau kamu mau menerimaku, balaslah surat ini.

Segera setelah surat balasanmu sampai padaku, aku akan pergi kesana, menuju kotamu. Menuju rumahmu. Kuajak kedua orangtuaku untuk menemuimu. Akan aku perkenalkan seorang dewi yang kecantikannya melebihi Aurora kepada mereka, yang kepadanya akan aku persembahkan semua bintang di langit.

Salam, Faris.

Tanpa sadar air mataku sudah mengucur membasahi sebagian badan surat. Terharu. Bahagia. Sebentar saja akan aku ceritakan isi surat ini kepada ibuku dan aku akan menyiapkan selembar kertas dengan tintanya.

*

Karena kita menatap langit yang sama. Langit bulan November.

Jumat, 09 November 2018

PART 8 #DIORAMA KITA

Part 8 # Diorama Kita

MELIHAT karakter dan pembawaanmu, aku seperti melihat Ryan yang pernah kubaca dulu di dalam novel (Diorama Sepasang Al Banna, Arie Nur, 2003).

Secara fisik, dirimu tidak mirip dengan Ryan. Dirimu berperawakan tinggi besar dengan kulit coklat. Sedangkan Ryan, digambarkan sebagai pria berkaca mata yang tampan, berkulit putih, dan berpenampilan necis khas seorang eksekutif muda. Secara fisik, dulu aku menginginkan pria seperti Ryan. Aku suka pria yang berkulit putih bersih, wangi, berkaca mata, dan berambut rapi gaya konvensional.

Secara karakter, dirimu adalah Ryan di kehidupan nyata. Ryan yang dingin, misterius, dan menyebalkan. Kalian mirip, sama-sama seorang arsitek muda yang berbakat. Bertangan dingin dan punya obsesi tinggi. Kalian cerdas dan pintar. Mempunyai banyak fans dan pengagum. Dirimu pernah bilang, di hidupmu, wanitalah yang mengejarmu bukan dirimu. Ryan juga begitu. Dia di sukai banyak wanita karena tampan, muda, dan sukses.

Mas, sepertinya dirimu harus membaca novel ini. Ini novel paling romantis yang pernah aku baca. Tidak seperti "Cynderella" dengan pangeran berkuda putihnya, Ryan datang dengan tidak menawarkan banyak hal. Dia datang hanya karena ingin menikah. Tidak seperti Edward yang datang dengan cinta menggebu-gebu, Ryan datang justru dengan penuh kekecewaan dan kebimbangan. Dia datang ketika kehampaan menguasainya. Dia kesepian, mencari perlindungan dan kehangatan. Dia datang dengan luka yang di biarkan. 

Aku melihatmu seperti Ryan. Dirimu bukan pangeran yang bermental baja yang siap menghadapi apapun untuk sang Putri, dirimu adalah sosok rapuh yang kebetulan singgah di fisik yang tegap. Dirimu adalah Ryan di kehidupan nyata yang begitu lembut dan sensitif, mudah terluka dan menyembunyikan diri.

Mungkin ini juga menjadi salah satu penyebab mengapa aku begitu penasaran padamu. Ada bagian di dalam dirimu yang ingin kumengerti. Aku minta maaf padamu, aku tidak bisa seperti Rani yang begitu sabar menghadapi Ryan. Aku lebih banyak menuntutmu untuk memahami aku. 

Seperti Rani yang bertahan dengan Ryan, aku tidak tahu aku bisa atau tidak. Karakter unikmu kadang membuatku ingin menyerah. Ibarat Ryan, aku tahu dirimu pun memiliki kualitas dasar ke-Tuhanan yang kuat. Dirimu bukan pribadi cetek seperti yang diperlihatkan. Ini yang membuat aku pasrah dan bertahan. Kalau kita memang tidak berjodoh, setidaknya aku pernah mencoba menyelami dirimu lebih dalam, aku pernah memberi penilaian tinggi yang jauh dari dugaan. 

Seperti Rani di dengan cerita, aku pun sama, aku tidak berharap banyak. Mungkin dirimu terlalu tinggi untukku. Aku bukan siapa siapa. Aku menyerahkan semuanya pada takdir. Takdir yang akan menggerakkan hidupku.

SENJA DI LANGIT BIRU


Malam itu bulan nampak indah menyerupai potongan buah semangka. Sinarnya menerobos jendela menerangi ruangan di mana Senja berada. Listrik padam sejak pagi, dan Senja belum cukup cerdas untuk mengetahui mengapa sering terjadi pemadaman listrik di desanya. Ia hanya tahu bahwa saat listrik padam, ada lilin yang bisa digunakan untuk menerangi rumah kecilnya. Juga sinar bulan tentunya, itupun kalau tidak sedang bulan mati atau langit berawan.

Senja masih memandangi rembulan dari bawah jendela. Matanya berbinar memancarkan energi yang nampak luar biasa. Energi rindu. Rindu akan sesuatu yang tak mudah diterka siapapun kecuali Ibunya. Bahkan jika rindu itu memiliki masa, hati mereka tak akan mampu menampungnya.

“Senja, tidur yuk!” Ibunya keluar dari dalam kamar.

“Besok pasti datang kan, Bu?” Senja menengadah menatap wajah Ibunya yang berdiri di belakangnya.

Ibunya hanya tersenyum tak menjawab pertanyaannya.

“Bu?” Tatapannya semakin dalam.

“Nanti kita shalat tahajud ya, minta sama Allah supaya Bapak segera pulang.”

*

“Mas, tolong dipikirkan. Jangan mengambil keputusan secepat itu. Ia berjalan perlahan keluar dari dapur dengan membawa segelas teh.

“Dek, Mas tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang pesangon nggak akan bisa menghidupi kita. Apalagi satu bulan lagi kamu diperkirakan melahirkan. Mana ada uang Yu?” Wajah pria itu tenggelam dalam keputusasaan dan kegelisahan.

“Kita jual saja ladang dari Bapak. Uangnya bisa digunakan untuk modal usaha. Tentang biaya persalinan biar Ayu pinjam sama Ibu.”

“Kamu bercanda? Kamu kan tahu bagaimana dulu orang tuamu tidak setuju kita menikah, apalagi…”

“Apalagi Mas pernah menolak bantuan Bapak. Mas… biar Ayu yang bicara dengan Bapak,” ujar Ayu berusaha meyakinkan suaminya.

Mereka saling pandang. Fajar selalu mengagumi Ayu. Wanita yang di nikahinya 15 bulan yang lalu. Ketika orang tua Ayu bersikeras menentang pernikahan mereka, Ayu tetap mampu meredam emosi bapaknya, ia mampu membela pria yang berani meminangnya dan meyakinkan sang Bapak bahwa mereka akan hidup bahagia meskipun ada perbedaan strata di antara mereka berdua.

“Terima kasih Dek…” senyum pun merekah menggantikan gurat kegelisahan di wajah Fajar

*

“Ibu, teman-teman Senja kalau pulang sekolah dijemput Bapaknya, tapi Senja kok nggak ada yang jemput? Bapak kemana, Bu?” Kepulan asap dari kayu bakar membuatnya memicingkan mata ketika berjalan menuju dapur. Ibunya sedang memasak.

Ayu tidak menanggapi pertanyaan putrinya. Ia hanya tersenyum sambil tetap menggoreng irisan tipis pisang dari kebun belakang rumahnya. Kemudian Ayu menggeser tempat duduknya mendekati Senja.

“Sabar ya Nak, Bapak sedang mencari uang yang banyak untuk Senja. Kalau sudah punya uang banyak, Bapak pasti pulang.” Jawabnya.

“Bapak ngga sayang sama kita ya, Bu?”

Ayu sedikit tersentak mendengar pertanyaan anaknya.

“Senja ngga boleh berpikir begitu, Bapak pergi cari uang karena sayang sama Senja. Senja sayang kan sama Bapak?”

“Iya!” Dengan penuh antusias Senja mengangguk. Ia mendekati Ibunya lalu memeluk erat. “Senja sayang Bapak dan Ibu. Bapak sayang Ibu dan Senja. Bapak nanti pulang bawa uang banyak untuk Ibu dan Senja.”

*

Malam itu, gerimis tampak lebih menakutkan dari hujan yang biasanya mengguyur desa hingga banjir. Gelap tak sekedar menyelimuti rumah-rumah disana, tetapi juga menjadi tirai yang membungkus hati Ayu. Belum pernah dalam hidupnya ia merasa segelisah itu. Suaminya belum juga pulang, padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas.

Sudah seminggu Fajar pergi. Padahal ia berjanji akan pulang hari itu. Sebenarnya Ayu sudah mencegah kepergian Fajar, tetapi dengan alasan ingin meminjam uang pada teman yang tinggal di kota, Fajar berhasil membujuk Ayu.

Tok… tok… tok…!!!

Suara ketukan pintu mengejutkan Ayu. Dengan susah payah ia bangun dari duduknya dan berjalan tertatih menuju ruang tamu. Ia berharap yang mengetuk pintu itu adalah suaminya.

“Ibu…??” sahut Ayu terkejut. Ibunya langsung masuk ke dalam sementara Bapaknya baru muncul dari balik pintu dengan memakai mantel hujan. Nampaknya ada urusan yang sangat penting. Pikir Ayu.

Setelah mengeringkan badan, orang tua Ayu mengajaknya berbicara.

“Ibu buatkan teh dulu ya, Pak.” Ibu Ayu bangkit menuju dapur.

“Biar Ayu saja Bu…” Ayu pun ikut bangkit.

“Kamu di sini saja, kasihan perut kamu,” kata sang Bapak.

Untuk beberapa saat Ayu berkonsentrasi penuh pada bait-bait syair dalam gerimis yang menyimpan sejuta misteri. Tidak ada puisi burung hantu tentang kerinduan pada kekasihnya, atau doa syahdu jangkrik-jangkrik liar pada Tuhan tentang harapan dan impian, juga gemulai daun-daun kelapa yang memetik dawai malam. Hanya katak yang dengan riang gembira mengucap syukur atas berkah hujan pada Sang Pencipta.

“Bagaimana kondisi kandunganmu, Nduk?” Tanya Ibunya sambil membawa nampan berisi 3 cangkir teh.

“Alhamdulillah sehat Bu. Setiap minggu rajin periksa ke dukun beranak.” Jawab Ayu.

Mendengar jawaban Ayu, Bapaknya menyela. “Dukun?” Bapaknya menggelengkan kepala. “Besok pagi kamu ikut pulang, kamu melahirkan di rumah bersalin saja, supaya terjamin keselamatannya.”

“Tapi Pak...” belum sempat Ayu meneruskan kata-katanya, Ibunya sudah menyahut.

“Suamimu kemana, Nduk?” Tanya Ibunya sambil celingukan.

Ayu menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Apa yang harus di katakannya? Namun akhirnya ia beranikan diri bersuara.

“Hmm.… Mas Fajar pergi ke kota Bu,” dengan ragu-ragu Ayu menjawab.

“Apa? Gila…! Suamimu memang gila, Yu. Istri hamil tua kok ditinggal!” Seketika emosi Bapak Ayu meninggi.

“Sudahlah Yu, kamu pulang besok pagi sama Bapak dan Ibu. Kamu jangan keras kepala. Kalau ada apa-apa sama kamu, apa suamimu mau tanggung jawab?” Ibunya ikut-ikutan kesal.

“Bu…”

“Kamu masih mengharap suamimu pulang?” Belum selesai kata-katanya, Bapak sudah menyelanya. “Apa yang kamu harapkan dari dia…?! Suami macam apa dia…? Bapak menyesal merestui pernikahan kalian!!” Emosi Bapaknya semakin meluap.

Amarah memecah keheningan malam. Lalu gerimis pun reda. Menyisakan misteri tentang cinta, air mata, harapan, kekecewaan, penyesalan dan kegelisahan dalam hati. Ketiganya terduduk diam, menikmati tetes hujan yang masih berjatuhan dari atap rumah itu. Namun jauh di lubuk hatinya, jauh di dalam relung jiwanya, Ayu menangis. Bukan karena nasibnya, tetapi karena ia tak mampu membela orang yang di cintainya di hadapan orang tuanya.

*

Hampir saja pisang yang tengah di gorengnya hangus bila tak segera tersadarkan diri dari lamunan. Baru saja ia beranjak dari duduknya, terdengar teriakan dari luar yang cukup mengagetkannya.

“Ibu…!! Ibu…!! Ternyata di sini.” Dengan nafas tersengal-sengal Senja berlari mendekati Ibunya.

“Ada apa lari-lari? Kok baru pulang? Sekarang jam berapa? Seharusnya kan 3 jam yang lalu Senja pulang?” Tanya Ibunya sambil mengelap tangannya bekas minyak goreng. Ia berdiri dan menyalami anaknya. “Dari mana saja sih?”

“Bu, tadi ada Bapak-Bapak yang datang ke sekolah, dia bilang dia teman Ibu. Senja diajak jalan-jalan ke pantai Bu, dia juga membelikan baju untuk Senja dan Ibu. Dia juga menitipkan uang untuk Ibu, katanya, itu untuk membayar utang dia sama Ibu.” Senja bersemangat menceritakan apa yang di alaminya tadi.

Sementara itu, mata Ayu terpusat pada kalung yang dikenakan Senja. Ia mendekati putrinya yang sedang asiknya mencoba baju pemberian Bapak-Bapak yang ditemuinya di sekolah. Ayu mengamati kalung itu dengan seksama.

“Boleh Ibu pinjam kalungnya sebentar?” Pinta Ayu pada Senja yang tak mempedulikan Ibunya.

“O iya Bu, kata Bapak-Bapak tadi, kalung itu untuk Ibu.” Ujar Senja sambil melepaskan kalungnya dan menyerahkannya pada Ayu.

Ketika menerima kalung itu, tangan Ayu gemetar. Badannya lemas, dingin merasuk menembus pori-pori tubuhnya. Matanya berkaca-kaca, tak sanggup menahan beban air mata yang sudah memenuhi kantung matanya. Namun melihat Senja yang dengan tertawa riang di hadapannya, ia mencoba menahan tangisnya. Sesak. Emosinya tertahan tanpa mampu terlampiaskan.

*

Lagi. Di bawah jendela, setelah maghrib saat sinar senja masih tersirat bagai berkas emas di langit, Senja terduduk. Menunggu seseorang. Seseorang yang tak pernah menggendongnya ketika pertama kali ia melihat dunia. Seseorang yang tak pernah menuntun tangannya ketika belajar berjalan. Seseorang yang sampai kapanpun akan selalu di rindukannya meski tak sekalipun ia tahu rupanya.

Pekat mulai menyelimuti desa. Tak ada rembulan. Tentu saja, hari itu sudah masuk bulan mati. Senja bangkit dari duduknya. Melangkahkan kaki kecilnya keluar rumah. Ia ingin menghampiri Ibunya yang sedang duduk di teras. Menikmati gulita yang terkadang menenteramkan jiwa mereka.

“Ibu…” Sapa Senja yang langsung disambut seulas senyum Ibunya.

Kedua Ibu anak itu duduk bersandingan. Berbicara, tertawa, tak mempedulikan kegundahan yang menggelayuti pikiran masing-masing. Bagi Ayu, jika memang suaminya tak akan pernah kembali, ia pasrah. Ia akan tetap mencintainya seumur hidupnya. Ia bersyukur bahwa Fajar telah menghadirkan Senja dalam hidupnya. Hingga ketika ia kehilangan sinar di pagi hari, masih ada keindahan sore yang menyambutnya. Keindahan "senja" di langit biru.

Tak jauh dari tempat mereka bercengkerama, sosok tegap mengintai dari balik pohon. Wajahnya nampak lebih kurus dibandingkan sepuluh tahun lalu. Lelaki itu berjalan perlahan, tetapi baru beberapa langkah ia mengurungkan niatnya. Ia berbalik, terus berjalan menjauh dari apa yang sejak tadi di amatinya. Lalu tenggelam di antara kegelapan.