Jumat, 09 November 2018

SENJA DI LANGIT BIRU


Malam itu bulan nampak indah menyerupai potongan buah semangka. Sinarnya menerobos jendela menerangi ruangan di mana Senja berada. Listrik padam sejak pagi, dan Senja belum cukup cerdas untuk mengetahui mengapa sering terjadi pemadaman listrik di desanya. Ia hanya tahu bahwa saat listrik padam, ada lilin yang bisa digunakan untuk menerangi rumah kecilnya. Juga sinar bulan tentunya, itupun kalau tidak sedang bulan mati atau langit berawan.

Senja masih memandangi rembulan dari bawah jendela. Matanya berbinar memancarkan energi yang nampak luar biasa. Energi rindu. Rindu akan sesuatu yang tak mudah diterka siapapun kecuali Ibunya. Bahkan jika rindu itu memiliki masa, hati mereka tak akan mampu menampungnya.

“Senja, tidur yuk!” Ibunya keluar dari dalam kamar.

“Besok pasti datang kan, Bu?” Senja menengadah menatap wajah Ibunya yang berdiri di belakangnya.

Ibunya hanya tersenyum tak menjawab pertanyaannya.

“Bu?” Tatapannya semakin dalam.

“Nanti kita shalat tahajud ya, minta sama Allah supaya Bapak segera pulang.”

*

“Mas, tolong dipikirkan. Jangan mengambil keputusan secepat itu. Ia berjalan perlahan keluar dari dapur dengan membawa segelas teh.

“Dek, Mas tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang pesangon nggak akan bisa menghidupi kita. Apalagi satu bulan lagi kamu diperkirakan melahirkan. Mana ada uang Yu?” Wajah pria itu tenggelam dalam keputusasaan dan kegelisahan.

“Kita jual saja ladang dari Bapak. Uangnya bisa digunakan untuk modal usaha. Tentang biaya persalinan biar Ayu pinjam sama Ibu.”

“Kamu bercanda? Kamu kan tahu bagaimana dulu orang tuamu tidak setuju kita menikah, apalagi…”

“Apalagi Mas pernah menolak bantuan Bapak. Mas… biar Ayu yang bicara dengan Bapak,” ujar Ayu berusaha meyakinkan suaminya.

Mereka saling pandang. Fajar selalu mengagumi Ayu. Wanita yang di nikahinya 15 bulan yang lalu. Ketika orang tua Ayu bersikeras menentang pernikahan mereka, Ayu tetap mampu meredam emosi bapaknya, ia mampu membela pria yang berani meminangnya dan meyakinkan sang Bapak bahwa mereka akan hidup bahagia meskipun ada perbedaan strata di antara mereka berdua.

“Terima kasih Dek…” senyum pun merekah menggantikan gurat kegelisahan di wajah Fajar

*

“Ibu, teman-teman Senja kalau pulang sekolah dijemput Bapaknya, tapi Senja kok nggak ada yang jemput? Bapak kemana, Bu?” Kepulan asap dari kayu bakar membuatnya memicingkan mata ketika berjalan menuju dapur. Ibunya sedang memasak.

Ayu tidak menanggapi pertanyaan putrinya. Ia hanya tersenyum sambil tetap menggoreng irisan tipis pisang dari kebun belakang rumahnya. Kemudian Ayu menggeser tempat duduknya mendekati Senja.

“Sabar ya Nak, Bapak sedang mencari uang yang banyak untuk Senja. Kalau sudah punya uang banyak, Bapak pasti pulang.” Jawabnya.

“Bapak ngga sayang sama kita ya, Bu?”

Ayu sedikit tersentak mendengar pertanyaan anaknya.

“Senja ngga boleh berpikir begitu, Bapak pergi cari uang karena sayang sama Senja. Senja sayang kan sama Bapak?”

“Iya!” Dengan penuh antusias Senja mengangguk. Ia mendekati Ibunya lalu memeluk erat. “Senja sayang Bapak dan Ibu. Bapak sayang Ibu dan Senja. Bapak nanti pulang bawa uang banyak untuk Ibu dan Senja.”

*

Malam itu, gerimis tampak lebih menakutkan dari hujan yang biasanya mengguyur desa hingga banjir. Gelap tak sekedar menyelimuti rumah-rumah disana, tetapi juga menjadi tirai yang membungkus hati Ayu. Belum pernah dalam hidupnya ia merasa segelisah itu. Suaminya belum juga pulang, padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas.

Sudah seminggu Fajar pergi. Padahal ia berjanji akan pulang hari itu. Sebenarnya Ayu sudah mencegah kepergian Fajar, tetapi dengan alasan ingin meminjam uang pada teman yang tinggal di kota, Fajar berhasil membujuk Ayu.

Tok… tok… tok…!!!

Suara ketukan pintu mengejutkan Ayu. Dengan susah payah ia bangun dari duduknya dan berjalan tertatih menuju ruang tamu. Ia berharap yang mengetuk pintu itu adalah suaminya.

“Ibu…??” sahut Ayu terkejut. Ibunya langsung masuk ke dalam sementara Bapaknya baru muncul dari balik pintu dengan memakai mantel hujan. Nampaknya ada urusan yang sangat penting. Pikir Ayu.

Setelah mengeringkan badan, orang tua Ayu mengajaknya berbicara.

“Ibu buatkan teh dulu ya, Pak.” Ibu Ayu bangkit menuju dapur.

“Biar Ayu saja Bu…” Ayu pun ikut bangkit.

“Kamu di sini saja, kasihan perut kamu,” kata sang Bapak.

Untuk beberapa saat Ayu berkonsentrasi penuh pada bait-bait syair dalam gerimis yang menyimpan sejuta misteri. Tidak ada puisi burung hantu tentang kerinduan pada kekasihnya, atau doa syahdu jangkrik-jangkrik liar pada Tuhan tentang harapan dan impian, juga gemulai daun-daun kelapa yang memetik dawai malam. Hanya katak yang dengan riang gembira mengucap syukur atas berkah hujan pada Sang Pencipta.

“Bagaimana kondisi kandunganmu, Nduk?” Tanya Ibunya sambil membawa nampan berisi 3 cangkir teh.

“Alhamdulillah sehat Bu. Setiap minggu rajin periksa ke dukun beranak.” Jawab Ayu.

Mendengar jawaban Ayu, Bapaknya menyela. “Dukun?” Bapaknya menggelengkan kepala. “Besok pagi kamu ikut pulang, kamu melahirkan di rumah bersalin saja, supaya terjamin keselamatannya.”

“Tapi Pak...” belum sempat Ayu meneruskan kata-katanya, Ibunya sudah menyahut.

“Suamimu kemana, Nduk?” Tanya Ibunya sambil celingukan.

Ayu menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Apa yang harus di katakannya? Namun akhirnya ia beranikan diri bersuara.

“Hmm.… Mas Fajar pergi ke kota Bu,” dengan ragu-ragu Ayu menjawab.

“Apa? Gila…! Suamimu memang gila, Yu. Istri hamil tua kok ditinggal!” Seketika emosi Bapak Ayu meninggi.

“Sudahlah Yu, kamu pulang besok pagi sama Bapak dan Ibu. Kamu jangan keras kepala. Kalau ada apa-apa sama kamu, apa suamimu mau tanggung jawab?” Ibunya ikut-ikutan kesal.

“Bu…”

“Kamu masih mengharap suamimu pulang?” Belum selesai kata-katanya, Bapak sudah menyelanya. “Apa yang kamu harapkan dari dia…?! Suami macam apa dia…? Bapak menyesal merestui pernikahan kalian!!” Emosi Bapaknya semakin meluap.

Amarah memecah keheningan malam. Lalu gerimis pun reda. Menyisakan misteri tentang cinta, air mata, harapan, kekecewaan, penyesalan dan kegelisahan dalam hati. Ketiganya terduduk diam, menikmati tetes hujan yang masih berjatuhan dari atap rumah itu. Namun jauh di lubuk hatinya, jauh di dalam relung jiwanya, Ayu menangis. Bukan karena nasibnya, tetapi karena ia tak mampu membela orang yang di cintainya di hadapan orang tuanya.

*

Hampir saja pisang yang tengah di gorengnya hangus bila tak segera tersadarkan diri dari lamunan. Baru saja ia beranjak dari duduknya, terdengar teriakan dari luar yang cukup mengagetkannya.

“Ibu…!! Ibu…!! Ternyata di sini.” Dengan nafas tersengal-sengal Senja berlari mendekati Ibunya.

“Ada apa lari-lari? Kok baru pulang? Sekarang jam berapa? Seharusnya kan 3 jam yang lalu Senja pulang?” Tanya Ibunya sambil mengelap tangannya bekas minyak goreng. Ia berdiri dan menyalami anaknya. “Dari mana saja sih?”

“Bu, tadi ada Bapak-Bapak yang datang ke sekolah, dia bilang dia teman Ibu. Senja diajak jalan-jalan ke pantai Bu, dia juga membelikan baju untuk Senja dan Ibu. Dia juga menitipkan uang untuk Ibu, katanya, itu untuk membayar utang dia sama Ibu.” Senja bersemangat menceritakan apa yang di alaminya tadi.

Sementara itu, mata Ayu terpusat pada kalung yang dikenakan Senja. Ia mendekati putrinya yang sedang asiknya mencoba baju pemberian Bapak-Bapak yang ditemuinya di sekolah. Ayu mengamati kalung itu dengan seksama.

“Boleh Ibu pinjam kalungnya sebentar?” Pinta Ayu pada Senja yang tak mempedulikan Ibunya.

“O iya Bu, kata Bapak-Bapak tadi, kalung itu untuk Ibu.” Ujar Senja sambil melepaskan kalungnya dan menyerahkannya pada Ayu.

Ketika menerima kalung itu, tangan Ayu gemetar. Badannya lemas, dingin merasuk menembus pori-pori tubuhnya. Matanya berkaca-kaca, tak sanggup menahan beban air mata yang sudah memenuhi kantung matanya. Namun melihat Senja yang dengan tertawa riang di hadapannya, ia mencoba menahan tangisnya. Sesak. Emosinya tertahan tanpa mampu terlampiaskan.

*

Lagi. Di bawah jendela, setelah maghrib saat sinar senja masih tersirat bagai berkas emas di langit, Senja terduduk. Menunggu seseorang. Seseorang yang tak pernah menggendongnya ketika pertama kali ia melihat dunia. Seseorang yang tak pernah menuntun tangannya ketika belajar berjalan. Seseorang yang sampai kapanpun akan selalu di rindukannya meski tak sekalipun ia tahu rupanya.

Pekat mulai menyelimuti desa. Tak ada rembulan. Tentu saja, hari itu sudah masuk bulan mati. Senja bangkit dari duduknya. Melangkahkan kaki kecilnya keluar rumah. Ia ingin menghampiri Ibunya yang sedang duduk di teras. Menikmati gulita yang terkadang menenteramkan jiwa mereka.

“Ibu…” Sapa Senja yang langsung disambut seulas senyum Ibunya.

Kedua Ibu anak itu duduk bersandingan. Berbicara, tertawa, tak mempedulikan kegundahan yang menggelayuti pikiran masing-masing. Bagi Ayu, jika memang suaminya tak akan pernah kembali, ia pasrah. Ia akan tetap mencintainya seumur hidupnya. Ia bersyukur bahwa Fajar telah menghadirkan Senja dalam hidupnya. Hingga ketika ia kehilangan sinar di pagi hari, masih ada keindahan sore yang menyambutnya. Keindahan "senja" di langit biru.

Tak jauh dari tempat mereka bercengkerama, sosok tegap mengintai dari balik pohon. Wajahnya nampak lebih kurus dibandingkan sepuluh tahun lalu. Lelaki itu berjalan perlahan, tetapi baru beberapa langkah ia mengurungkan niatnya. Ia berbalik, terus berjalan menjauh dari apa yang sejak tadi di amatinya. Lalu tenggelam di antara kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar