Minggu, 11 November 2018

ROBUSTA TERAKHIR

You can’t buy happiness, but you can buy coffee. And that’s pretty close.

“Ini untukmu, robusta favoritmu,” aku menyodorkan beberapa kemasan kopi robusta favoritmu. Aku baru saja pulang dari Temanggung setelah beberapa hari ada pekerjaan dan menginap di sana. Temanggung memang dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbesar di Jawa Tengah. Dan robustanya terkenal dengan aroma yang lebih harum dibandingkan dengan robusta yang berasal dari daerah lainnya, cita rasa kopi ini tak akan ditemukan pada cita rasa kopi di daerah lainnya.

“Ini favorit kitaaaaa!” ucapmu setengah berteriak.

Kamu mulai bergegas ke pantry, mengambil dua buah cangkir kemudian meracik robusta tersebut untuk kita.

“Secangkir robusta untukku, dan secangkir lagi untukmu,” kamu meletakkan secangkir kopi itu persis di depanku. “Oh iya, secangkir kopi yang ini telah aku tambahkan dengan beberapa sendok cinta,” lanjutmu.

“Jadi secangkir kopi yang akan aku minum terdiri dari 50% robusta asli, dan 50% rayuan gombal?” ucapku, menerka-nerka.

“Kamu salah.”

“Lalu? Yang benar apa?”

“Robustanya hanya terdiri dari 10% saja, sementara 90% sisanya adalah perasaan cintaku yang tak terbantahkan.”

“Okay, and you are the winner,” ucapku sambil menciumi aroma robusta yang begitu harum.

Kami berdua memang memiliki hobi yang sama, sama-sama mencintai kopi. Dan karena kopi pula-lah kami berdua dipertemukan. Aku berkenalan dengannya pada acara Kontes Kopi Jakarta yang membawanya menjadi juara ke-dua tingkat Nasional.

Pada saat itu mataku tak henti menatap keahlian tangannya dalam meracik kopi, atraksi demi atraksi ia tampilkan, dan pada saat itu pula aku merasakan ada getaran yang berbeda. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Mengapa tidak.

Meraih juara dua tingkat nasional membuat kedai kopinya tak pernah sepi terhadap pembeli.  Racikan kopinya semakin dikenal dan semakin memikat banyak pecinta kopi di Jakarta. Dan aku harus paham betul dengan kesibukannya itu. Waktunya tak banyak untukku, jika aku mau, akulah yang harus mengunjunginya. Sementara jika weekend telah tiba, kami lebih senang menghabiskan waktu untuk bekerja bersama, di mana lagi bila bukan di kedai kopi miliknya.
***

Ada yang berubah dari sikapnya beberapa minggu belakangan ini. Dingin. Bahkan dinginnya melebihi suhu udara malam ini yang diterpa hujan dan angin yang cukup kencang.

“Aku mohon maaf.”

“Maaf untuk apa?” jawabmu dengan wajah yang datar, sementara tanganmu sibuk meracik kopi beberapa pengunjung yang datang.

“Jika ada hal-hal yang membuatmu terluka.”

Kamu menggeleng, tersenyum, namun bukan senyummu seperti yang dulu. Setidaknya begitu yang aku rasakan.

“Kopi buatanmu tak lagi senikmat dulu,” tambahku.

“Maaf, karena justru aku yang membuatmu terluka.”

“Maksudmu?” kali ini aku yang berganti bertanya.

“Aku tak lagi mencintai robusta seperti dulu, begitupun aku yang tak bisa mencintaimu lagi seperti dulu.”

“Apa salahku?”

“Kamu tak salah. Hanya saja aku telah melabuhkan hatiku pada hati yang lain, dia tengah menungguku di sana,” tanganmu menunjuk seorang wanita berparas cantik yang tengah duduk di sudut kedai. “Namanya Lani,” ucapmu lagi.

Aku tak memedulikan ucapannya barusan. Persetan dengan semua itu. Yang aku tahu secangkir robusta terakhir yang ia buatkan untukku kini telah mendingin, secangkir robusta yang sempat aku sesap, kini telah berubah menjadi secangkir air mata penuh luka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar