Sabtu, 10 November 2018

DIBAWAH PERADUAN LANGIT BULAN NOVEMBER


Apa kabar langit?

Kau tau sekarang bulan sudah berganti. Oktober sudah meninggalkanku dan kini November datang menyapaku. Tentu dengan tawaran kenampakan yang berbeda di langitmu. Sang pemburu bersabuk deretan tiga bintang pun muncul menggantikan posisi musuh besar yang mengejarnya, sang kalajengking berjantung Antares. Pun dengan tawaran kisah yang berbeda yang terjadi di bawah naunganmu.

It was dawn at that time. Aku mengamati langit di atap rumah seperti biasa, ditemani beberapa potong roti. Sirius yang tertangkap indra penglihatku tepat di zenith, rupanya malu-malu untuk kutatap lebih lama lagi, karena saat itu juga handphoneku tiba-tiba berdering.

Tidak biasanya, batinku.

Pikir saja siapa yang meneleponku dini hari begini kalau bukan karena dia mengigau. Mau tak mau aku membuka handphone. Layarnya berkedip, menampilkan sederet nomer sang penelepon. Ku beranikan diri mengangkat, meskipun agak sedikit takut.

“Halo?”

“Ini Kisya?”

Deg, aku terkejut. Kenapa dia bisa tau namaku, batinku.

“Si, siapa ini?” aku agak terbata-bata.

“Ini bener Kisya, kan? Aku Faris. Do you still remember me?”

Tepat setelah kalimat pertanyaannya selesai sempurna tertangkap oleh indra pendengarku, memoriku sekejap memburat. Seakan berputar-putar di sebuah lorong waktu dan akhirnya terlempar ke waktu 9 tahun yang lalu. Masa SMP.

“Halo? Kisya? Masih disitu, kan?”

“Eh... I, iya...” aku gelagapan,”Faris? Iya, aku ingat…”

“Syukurlah...” terdengar ia seperti menghela nafas lega, sedang aku masih terdiam, bingung.

“Apa kabar, Kisya?” pertanyaannya memecah keheningan. Lebih tepatnya memecah lamunanku.

“Eh, baik,” spontan saja kemudian beberapa pertanyaan meluncur deras dari lisanku,”Faris, ada apa, ya? Kenapa menelepon dini hari begini? Bagaimana kamu bisa tau kalau aku pasti akan mengangkat teleponmu?”

Hening sejenak.

“Aduh, Kisya... Satu-satu dong tanyanya.”

Aku nyengir.

Well, Kisya, semua pertanyaanmu jawabannya hanya satu.”

Aku mengernyitkan dahi, heran, “Apa?”

Facebook,” ucapnya singkat, kemudian terdengar seperti suara terkekeh.

“Selama 2 bulan terakhir ini aku mengikutimu difacebook,” lanjutnya cepat, seakan tidak mau membuatku lama-lama dirundung keheranan, “Dan aku dapat nomermu dari sahabatmu, Siera.”

Whaat?” aku terkejut,”Are you kidding me? Faris, kamu gak ada habisnya buat aku terkejut-kejut dan jadi keheranan. God, mimpi apa aku semalem.” Tanpa sadar aku menepuk jidat.

Lagi-lagi terdengar suara terkekeh dari seberang telepon.

“Status-statusmu, Kisya. Aku tau kamu suka mengamati langit malam...”

*

Seminggu berselang sejak Faris meneleponku untuk yang pertama kali dan sudah seminggu itu pula malam-malam pengamatanku menjadi lebih ramai. Bukan hanya oleh “celotehan” bintang-bintang seperti biasanya, tetapi juga oleh celotehan dua anak manusia yang dipertemukan oleh sebuah alat komunikasi bernama handphone.

Banyak cerita yang bergulir selama seminggu ini. Saling bertukar pengalaman, bercerita tentang perjalanan hidup dan apapun, basa-basi, mungkin. Hingga bercerita tentang bintang-bintang. Menerjemahkan apa yang menjadi “celotehan” mereka ke dalam bahasa manusia. Suatu saat aku pernah bercerita tentang bagaimana sang pemburu bangsa Boetia yang tampan dan perkasa, Orion, dengan angkuhnya mengatakan akan memusnahkan semua hewan buas di Bumi dan mempersembahkannya kepada Aurora, kekasihnya. Namun pada akhirnya Orion justru tewas akibat lesatan anak panah Diana yang dikaburkan pandangannya oleh Apollo saat akan menolong Orion dari kejaran seekor kalajengking raksasa, Scorpio. Tragis. Sebuah cerita kolosal khas mitologi Yunani yang bertahan sampai sekarang.

“Kalau aku jadi Orion, aku tidak akan melakukan hal yang seperti itu...”

Suara dari seberang telepon itu membuatku terhenyak.

“Lantas?” aku bertanya usil.

“Daripada harus mengumbar perkataan akan memusnahkan semua hewan buas di Bumi, lebih baik aku katakan akan mempersembahkan semua bintang di langit kepada kekasihku,” Faris terdengar berapi-api.

“Kamu punya kekasih?” tanyaku spontan. Hampir tak sadar aku melontarkan pertanyaan itu.

“Eh?”

*

12 November 2013. Tepat pukul 1:30 dini hari. Aku terbangun. Seperti hari-hari sebelumnya. Yang berbeda mungkin satu hal. Handphoneku akan berdering beberapa menit setelah ini. Faris akan meneleponku. Dan seperti biasa, sembari menunggu, aku mengambil air wudlu dan melaksanakan qiyamul lail terlebih dulu.

Pukul 1:45 dini hari.

Aku telah selesai melaksanakan ritualku. Tapi handphoneku tak kunjung berdering. Aku memasak air untuk membuat segelas teh sekedar menemani pengamatanku hari ini, sembari sesekali melihat layar handphoneku—berharap Faris segera meneleponku.

Segelas teh hangat kini sudah menemaniku duduk di pelataran atap rumah, bersebalahan dengan handphoneku yang kubiarkan tegeletak begitu saja. Sesekali kutatap langit, kemudian mencuri-curi pandang ke arah handphoneku. Planisfer masih saja kugenggam, bersanding dengan gadget layar lebar yang tengah menampilkan peta langit digital. Perasaan gelisah mulai menjalari hati yang sudah lebih dulu dipenuhi tanda tanya.

Akhirnya aku tidak bisa menahan kegelisahanku. Kuketik sebaris kalimat pesan singkat untuk Faris.

Kemana? Belum bangun kah?|

Agak canggung memang. Karena aku sendiri tidak terbiasa berkirim pesan singkat dengan Faris. Lama kutunggu tak kunjung ada balasan. Hingga akhirnya aku cukupkan pengamatanku hari ini. Kuputuskan tidak aku lanjutkan hingga adzan Shubuh menjelang seperti biasanya. Lelah.

*

Adzan Shubuh membangunkanku. Masih mengerjap-ngerjap aku berusaha bangun dan agak menyeret langkah mengambil wudlu. Seusai shalat Shubuh, sengaja aku naik ke atap rumah. Menatap langit fajar tanggal 12 November. Menunggu hingga menyembulnya matahari dari ufuk timur. Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi pada diriku. Sejak dini hari ini, sejak Faris tidak menelepon dan membalas pesan singkatku, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Ada yang hilang. Aku merasa kehilangan. Dan seketika itu juga alur waktuku mendadak menjadi berjalan sedikitmellow. Suasana yang tidak biasa.

Huff... aku menghela nafas, membaringkan tubuh di pelataran atap rumah.

“Kisya..!”

Terkejut, aku terbangun. Suara ibuku terdengar memanggilku.

“Iya, bu...” aku segera beranjak turun ke dalam rumah. Mendatangi ibuku yang tengah berdiri menungguku. Sudut mataku menangkap sesuatu yang ibu bawa. Sebuah amplop coklat besar. Seakan bisa membaca pikiranku, ibu langsung menyodorkannya padaku.

“Ini ada surat. Diantar tukang pos tadi,” ibu menjawab tanpa sempat aku mengeluarkan sebuah pertanyaan.

Aku hanya mengangguk.

Segera setelah pamit ke dalam kamar, amplop coklat kubuka. Benar. Secarik kertas. Sebuah surat.

Dear, Kisya.

Maaf mungkin ini akan membuatmu sedikit terkejut. Dari tempatku disini, di kota batik akan kusampaikan sesuatu hal menuju tempatmu disana, di kota kembang. Sengaja aku menulis surat, dengan tega tanpa mempedulikan arus kecanggihan teknologi yang deras demi niatku ini.

Kisya... Maaf sekali lagi kalau mungkin aku sudah bersikap lancang dan membuatmu jadi merasa tidak nyaman. Sejak aku mengenalmu dan pada akhirnya selama seminggu kemarin kita bisa berkomunikasi kembali, aku merasakan hal yang berbeda. Ada sesuatu yang menelisik dan menggelitik perasaanku. Aku mencoba mencari-cari apa itu dan setelah sekian lama aku memikirkannya, aku merasa semakin yakin. Bahwa sebenarnya apa yang kucari itu sesuatu yang mungkin kita sebut ‘cinta’.

Kita sama-sama tau, baru seminggu kemarin kita berkomunikasi kembali setelah 9 tahun kita terpisah. Dan sangat tidak logis kalau waktu yang singkat itu bisa menumbuhkan perasaan cinta. Tapi sayangnya, cinta memang tidak mengenal kata ‘logis’. Cinta bisa tumbuh dimana saja dan kapan saja. Bahkan di atas tanah yang tandusketika kemarau sekalipun.

Aku tidak berharap banyak. Karena aku sadar betul siapa aku, dan siapa kamu. Aku tidak memaksamu untuk bisa menerima keberadaanku. Hanya kalau kamu mau menerimaku, balaslah surat ini.

Segera setelah surat balasanmu sampai padaku, aku akan pergi kesana, menuju kotamu. Menuju rumahmu. Kuajak kedua orangtuaku untuk menemuimu. Akan aku perkenalkan seorang dewi yang kecantikannya melebihi Aurora kepada mereka, yang kepadanya akan aku persembahkan semua bintang di langit.

Salam, Faris.

Tanpa sadar air mataku sudah mengucur membasahi sebagian badan surat. Terharu. Bahagia. Sebentar saja akan aku ceritakan isi surat ini kepada ibuku dan aku akan menyiapkan selembar kertas dengan tintanya.

*

Karena kita menatap langit yang sama. Langit bulan November.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar