Selasa, 05 Juni 2018

PILKADA rasa OTT

KABAR operasi tangkap tangan (OTT) terhadap calon kepala daerah atau kepala daerah petahana yang berkerabat dengan pasangan calon terus membayangi rangkaian penyelenggaraan pilkada serentak  27 Juni 2018 lalu. 


Pemberitaan beberapa kasus OTT lebih menghentak ketimbang kampanye yang digelar pasangan calon. Kemunculan beberapa calon yang terjerat kasus  korupsi telah memicu polemik berkepanjangan terkait penundaan proses penegakan hukum, wacana penggantian pasangan calon, hingga usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 


Polemik muncul karena perbedaan sudut pandang antara politisi dan publik terkait praktik perang melawan korupsi di satu sisi dan hakikat pilkada di sisi lain. Sebagian politisi menganggap ada muatan politik yang bertujuan menjegal kemenangan pasangan calon dalam praktik penegakan hukum terhadap mereka. Sebaliknya, publik memandang ada muatan politis ketika politisi dan pejabat yang merangkap menjadi pengurus partai ngotot menunda penegakan hukum terhadap pasangan calon berdalih menjaga marwah dan kondusivitas pilkada. 


 Itulah sebabnya mereka mengusulkan menunda penegakan hukum hingga penghituangan suara selesai dilakukan. Di mata publik, penundaan semacam ini selain dipandang sebagai pintu darurat penyelematan kepentingan partai  juga merupakan bentuk penafian atas prinsip semua orang berkedudukan sama di muka hukum. Pilkada yang menyedot dana yang besar tidak menjadi alasan pembenar terjadinya korupsi. Alih-alih melonggarkan penegakan hukum, perang melawan korupsi harus digencarkan menjelang pilkada agar perhelatan demokrasi ini tidak dijadikan inkubator perilaku korup. 


Sayangnya tindakan melayani gejala menguat dalam menyikapi persoalan hukum yang melibatkan pasangan calon. Pandangan tadi menjadi bias bila disandingkan dengan kehendak publik yang ingin menjadikan pilkada sebagai bagian dari mekanisme memutus mata rantai korupsi demi menghadirkan pemerintahan yang bersih. Ada kehendak kuat untuk menginfuskan udara murni ke dalam saraf-saraf pemerintahan ketika pilkada digelar. 

Karena itu, harapan publik bukan menunda penegakan hukum atas pasangan calon, namun menuntut partai politik menciptakan sebuah mekanisme untuk menyeleksi dan menominasikan kandidat yang bersih dan (diyakini) bisa membersihkan pemerintahan daerah. Itulah sebabnya, alih-alih memelihara marwah dan menjaga kondusivitas pilkada, penundaan pemeriksaan terhadap pasangan calon dikhawatirkan hanya mengalihkan persoalan dan membuatnya menjadi kian rumit. 

Apa yang terjadi jika pasangan calon yang disangka melakukan tindak korupsi menang dalam pilkada kemudian terbukti secara sah dan meyakinkan di pengadilan ? Jika pasangan calon yang bermasalah menang tentu saja akan membuat partai atau gabungan partai pengusung senang karena mereka tidak kehilangan segalanya. Namun tidakkah ini benar-benar merusak marwah pilkada? Terhadap kemungkinan ini tidak bisa mempersalahkan pemilih sepenuhnya, sebab di beberapa daerah yang pasangan calonnya terlibat kasus korupsi berlangsung pula perang opini dan pembelokan wacana. 

Ada narasi yang dibangun bahwa petahana yang terjerat korupsi tidak sepenuhnya jahat, namun jebakan hukumlah yang membuat mereka harus terseret ke penjara. Ada narasi lain yang dibangun, yang kesemuanya meringankan petahana bermasalah, dan membalikannya sebagai pejuang yang tidak beruntung. Bahkan ada narasi yang terasa amat nyinyir, bahwa petahana yang terjerat OTT bukan karena berbuat salah semata, namun karena dia ketiban apes. Kemunculan narasi semacam ini sungguh aneh, namun dalam politik semua kemungkinan akan terjadi sejauh mendekatkan tujuan politisnya. 


Bahkan bila tukang tambal ban saja jika akan membeli ban baru tidak menghendaki ban bocor, namun dalam pilkada logika sederhana semacam ini terlalu sulit dipraktikan. Akar masalah Restu petinggi partai dan kesanggupan logistik menjadi wild card dalam pencalonan. Tanpa salah satu dari keduanya, sehebat apa pun seseorang tidak akan lolos menjadi pasangan calon, kecuali jika memiliki keberanian yang cukup untuk maju dari jalur perseorangan. 


Sayangnya mekanisme yang diberlakukan partai politik dalam menyeleksi dan menominasikan kandidat tidak sepenuhnya terbuka. Konstituen hanya menjadi penonton, untuk kemudian menjadi pemandu sorak ketika keputusan partai tentang pasangan calon yang diusung keluar. Padahal jika konstituen dilibatkan sejak awal, kejernihan mata partai dalam meneropong bakal calon yang potensial bermasalah akan terbantu. Pun popularitas bakal calon secara alamiah turut teruji.

 Lebih dari itu, ketika konstituen merasa ikut meloloskan pencalonan, akan sulit bagi mereka untuk tidak ikut memenangkannya. Sayangnya jalan ini tidak kunjung ditempuh partai politik. Kalaupun ada partai yang menggelar konvensi, tidak melibatkan konstituen. Entah apa alasan sebenarnya, namun boleh jadi karena sebagian partai menempatkan tokoh yang dinisbatkan sebagai ikon partai memiliki "sabda pandhita ratu". 

Inilah wajah lembut mesianisme politik yang sulit dikikis. Tidak ada proses politik yang murah. Bahkan biaya politik akan bertambah ketika prosedur dan mekanisme demokrasi dijalankan. Namun selain mahal, demokrasi pun bila dijalankan dengan benar dan transparan memiliki karakter yang dapat mencegah beroperasinya dana siluman. Kunci untuk membuka tabir beroperasinya dana siluman hanya keterbukaan dan pelibatan publik sebanyak mungkin, sebab semakin gelap jalan politik peluang terjadinya penyimpangan kian terbuka. 

Korupsi ibarat "gumpalan lemak" yang merusak organ partai. Untuk mengurangi gerakan organ partai, praktikan demokrasi internal partai, dan libatkan publik dalam mekanisme dan kerja partai. Hanya proses semacam ini yang akan membuat mesin partai bekerja optimal, termasuk dalam menyaring dan menominasikan kandidat.

Edho paju

Mahasiswa unifersistas sultan agoeng tirtayasa jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar