Sabtu, 23 Juni 2018

KOPI SENJA

Adakah kubisikkan di senjah yang tidak ramah pada kita, kita biarkan kopi menjadi dingin di cangkir tua itu, gerimis pun iba pada air mata di tepi pisah. Bisu mengadu, beku, kopi itu membeku, hati itu kelu. Lagu itu menjadi syahdu. Karena ku jatuh cinta pada caramu menerjemahkan luka. Sebuah bayang menari dan terjatuh pada secangkir kopi senja.  Yang Kau goreskan syair luka pada secangkir kopi lalu kau hempaskan pada senja hingga pecah berkeping. Kuselipkan rembulan pada  sajak sepekan ku, karena malam yang berlalu masih menyimpan janji yang tertunda. Seba'it puisi tentang seseorang yang duduk di bawah sinar rembulan yang menghilang dalam remang gelap. Besok akan kukembalikan rembulan dengan beberapa sketsa tentangmu agar kau tahu senjah berikutnya aku masih terduduk di awan menunggu janji itu, menunggu lamunan itu selesai agar lembar terakhir buku harian itu tergores. Aku menunggu . -Kopi senjah, tetap pahit- Aku tidak pernah membencimu luka, maaf bila syair yang kugoreskan lewat angin timur membuat sendu, tapi engkau tahu luka itu memberi lembayung di sisiku. Kita berdua tahu, kau sang kopi senjah dan aku lembayung senja. Bila aku tak lagi bergantung di matamu, maka sore esok kau hanya akan menjadi ampas. Tapi aku tetaplah senja. Aku hanya penambah nikmat indah bagi hati syahdu yang slalu merindu luka di setiap sore yang mampu aku datangi. Tidak perlu berduka,katamu. engkau tetap indah tanpaku. Bila di hari esok kau berhati syahdu terduduk di serambi, semoga kau sempatkan melihat sore hadir menyapa kopi yang mulai dingin. Kau tertunduk lesu karena malam mencuri senjamu. Lembayungmu telah disiram amat hitam, pekat menjalar tak menyisakan ruang warna tapi jangan kau salah kan syair magis agin timur.

Edho paju

Tidak ada komentar:

Posting Komentar