Rabu, 01 Agustus 2018

SALAKAH MELANKOLIS?

Sisa perdebatan di warung kopi malam tadi masih menggantung rasanya. Tak ada habisnya perdebatan tersebut. Masing-masing orang ngotot mempertahankan argumentasinya. Tak ada solusi, tapi lumayan buat menambah khazanah pengetahuan. Diskusi panjang “Laki-laki Cengeng” malam itu, harus disudahi mengingat persiapan D bebat esok malam.

Salahkah menjadi laki-laki melankolis? Kata teman sekamar, laki-laki identic dengan pembawaan yang lugas, tegas dan pantang mundur menyelesaikan suatu persoalan. Senior tingkatku mendukung dengan nalar bahwa seorang laki-laki yang terbiasa dengan pola hidup melankolis secara tak langsung mengingkari kodratnya sebagai laki-laki. Diskusi berlanjut hingga pada ruang yang lebih konkret dan terpopuler saat ini, dunia literasi. Dunia tulis-menulis dewasa ini diwarnai dengan perwajahan melankoli. Setiap hari selalu saja ada oknum dalam contact list media sosial yang menggerutu tentang beratnya hidup, terjalnya dunia percintaan atau sulitnya menghadapi tugas akhir. Ruang public dalam dunia jejaring sosial memang tak lepas dari hal-hal berbau sinisme. Selalu saja meragukan kebenaran, menghindari kenyataan. Namun salahkah jika seorang laki-laki yang katanya dikaruniai hati baja bertingkah sedemikian? Dunia literasi yang sesak dengan opini-opini dari penulisnya adalah bebas. Terserah mau nulis apa, yang penting bertanggung jawab. “-At the last, Habits make you.” Kutipan menjadi dasar pembenaran, bahwa kebiasaaan sehari-hari akan membentuk karakter dan alur berfikir seseorang. Membiasakan diri merilis kondisi perasaan membuat seseorang tak lagi mandiri. Cepat bertindak konyol, membiarkan semua orang mengetahui permasalahannya. Tak lagi jelas ruang privasi seseorang, karena dirinya sendirilah yang mengumbar ruang privasinya. Kesalahan beberapa oknum demikian adalah pada cara berfikirnya. Memisahkan antara realitas dan dunia maya dalam jejaring dunia daring. Ironisnya, tak jarang kita mengetahui karakter asli seseorang ditinjau dari media-media sosial yang dipunyainya. Apakah memang salah menabur perasaan dengan tulisan? Tentu saja tidak. Tulisan menjadi penguasaan penuh penulisnya. Pertanggungjawaban ada pada penulis. Selera memang tak dapat untuk dicampuri, meski demikian, dengan selera, cita rasa dan perwatakan seseorang dapat diukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar