Minggu, 26 Agustus 2018

NEGERI DALAM SELIMUT HOAX

Pada saat ini, hoax tidak hanya bisa dipublikasikan oleh penguasa atau politikus berpengaruh semata, sebab kini setiap orang bisa menciptakan dan menyebarkan berita dan opini yang mereka buat ke seluruh dunia, hanya dengan beberapa ketukan ujung jari. Tentu, kenyataan ini semakin menambah intensitas produksi dan peredaran hoax di tengah-tengah kita. Tapi bagaimanapun, semua hoax diciptakan dengan tujuan yang tak jauh berbeda. Sebuah imperium atau penguasa menjadikan hoax sebagai alat untuk merebut kekuasaan atau untuk mempertahankannya, atau agar semakin kaya, kuat dan jaya. Begitupun hoax diciptakan oleh warga sipil untuk memperoleh pengakuan publik, popularitas, dan meraup sebanyak mungkin materi.

Nah, setelah kita menyaksikan betapa dahsyatnya pengaruh buruk hoax, dan bahwa kini ia telah sangat mudah tersebar sedemikian merata, menyusup masuk ke sudut-sudut kehidupan kita, mulai dari ruang politik, ekonomi, sosial, keagamaan, dan bahkan hiburan, maka tak ada pilihan lain yang bisa kita lakukan selain berperang melawan hoax. Sebab jika hoax dibiarkan tanpa perlawanan, maka orang akan meyakini bahwa hoax itu adalah perkara yang haqq, dan akhirnya kita terjebak dalam kubangan yang menyengsarakan. Satu contoh, seorang calon pemimpin gencar menciptakan hoax untuk mencitrakan dirinya sebagai dewa penyelamat, lalu kita pun termakan hoax itu lantas dengan lugu memilihnya sebagai pemimpin, maka jelas selanjutnya kita akan hidup dalam ketidak-tenangan selama kepemimpinannya. Tapi bagaimana mestinya kita berperang melawan hoax?

Sebetulnya, hal pertama yang kita butuhkan adalah kepala dingin, sebab setiap hoax diciptakan dengan kemampuan untuk membakar dan meledakkan emosi. Jika kita tidak memakai kepala dingin dan nalar yang jernih, maka kita tidak akan bisa merespons hoax dengan tepat. Untuk memahami hal ini, mari kita lihat, hal apakah yang paling banyak di share dan di komentari orang di sosial media? Tentu konten yang dibangun dengan bahan yang bisa membakar emosi, bukan yang dibangun dengan menyalakan nalar. Malah, konten-konten ilmiah yang penuh dengan analisa dan data-data akurat sangat sepi peminat. Berbeda dengan konten yang berisi luapan emosi, muatan politik, ideologi, dan fanatisme. Untuk konten-konten tipe kedua ini, seringkali tanpa terasa kita share dan komen, tanpa terlebih dahulu menelisik kebenaran berita dari sumber utamanya.

Maka, di hadapan berita-berita yang membakar emosi itulah sebenarnya kualitas nalar seseorang diuji; apakah ia bisa menghadapinya dengan kepala dingin layaknya orang yang berakal sehat, atau malah menghadapinya secara emosional layaknya orang kesurupan? Di zaman pertarungan politik dan pemikiran yang sudah terpolarisasi sedemikian rupa seperti sekarang ini, sudah barang tentu orang akan hilang kesadarannya manakala ada isu yang bisa menguntungkan pihak sendiri dan bisa merugikan pihak lawan; ia langsung akan share sebanyak-banyaknya tanpa mau tahu sebelumnya apakah berita itu haqq ataukah hanya hoax. Sialnya, jika kebiasaan seperti ini sudah menjadi sindrom yang menyelimuti seisi negeri, maka sudah pasti negeri itu jauh dari kata maju dan berperadaban luhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar