Rabu, 01 Agustus 2018

PERIA DI POJOKAN

Dini hari, pukul satu seperempat, bangku-bangku di kedai kopi masih ramai. Aroma tembakau, kopi dan aneka masakan bercampur, menimbulkan bau khas. Kikan menengok puluhan kepala di sekelilingnya. Semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada yang terkikih-kikih sendiri, mungkin sedang menonton cuplikan video lucu di ponsel pintarnya, ada juga yang serius berbincang-bincang, entah apa yang dibicarakan mereka. Kikan menebak tentu pembicaraan berat, seperti mengomeli pemerintah yang kerap dikambinghitamkan karena perekonomian yang merosot. Ada pula sekawanan orang yang berteriak-teriak memarahi komentator sepak bola karena keseleo lidahnya menyudutkan tim kesayangannya. Terlepas dari riuh dan bisingnya suasana di permulaan hari, kikan paling tertarik dengan tontonan yang tak biasa. Perhatiannya sepenuhnya tercurah pada sosok manusia jangkung pada meja di pojok kiri. Hanya berjarak satu setengah meter darinya. Kikan dan pria itu dibatasi meja kosong. Seminggu ini, Ia bersemangat mendatangi warung kopi, hanya untuk melakukan pengamatan pada “pria pojokan”, begitu kikan menamainya. Tak ada yang benar-benar jelas dari kekagumannya pada pria itu. Dari tampang saja, pria itu jauh di bawah standar selera perempuan masa kini. Jika diukur berdasarkan skala, nilai tampilannya; dua dari sepuluh. Jauh dari kata tampan dan memikat. Balik menyeruput kopi hitam di samping laptopnya, kikan berupaya menikmati rasa pahit di lidahnya. Ia bukan pencinta kopi seperti “makhluk malam” yang biasa nongkrong di warkop hingga pagi. Seleranya dipaksakan mengikuti pria pojokan, padahal ia lebih senang menikmati teh panas dibanding cairan pahit, hitam dan sama sekali tidak artistik seperti teh. Jika dipikir-pikir, daya magnet pria itu hanya satu. Laki-laki itu penulis, dan kikan terobsesi dengan cerita yang ditulisnya dalam sebuah blog. Tiap kali membaca isi tulisannya, kikan beranggapan bahwa dia dan pria itu terhubung. Sebuah logika sederhana, Kikan gemar mendengarkan cerita pengalaman orang lain, sedang pria itu sering menulis. Mereka memiliki hobi yang beda tapi memiliki hubungan simentris, pembaca dan penulis. Dua jam berlalu, pria itu menungkup kepala di  kedua punggung tangan yang ia parkir di atas meja. “Tampaknya ia sedang beristirahat”, pikir kikan. Iseng-iseng, kikan melihat-lihat postingan terbaru si pria pojokan. Lagi, sebuah cerita ia selesaikan hari ini. Judulnya, “Ilusi dini hari”. Ceritanya bersetting suasana warkop, suasana yang tenang dengan rinai hujan dan musik klasik yang diputar pengelola warkop. Ia bercerita tentang seorang perempuan yang menarik perhatiannya sejak sebulan yang lalu. Kikan membaca perlahan-lahan paragraf pembuka cerita. Perempuan itu mengenakan kerudung hitam malam ini, tak seperti malam-malam sebelumnya yang berwarna cerah. Mungkin dia sedang berkabung, atau aku yang terlalu merisaukan penampilan makhluk gemulai itu. Berbatasan hanya satu meja dariku, perempuan itu membuat degup jantungku tak menentu. Baru kali ini dia sedekat ini. Rinai hujan yang memukul-mukul beranda dan alunan tipis musik klasik yang diputar karyawan warkop menambah romantis suasana. Dia menawan laksana bintang, indah tapi tak tersentuh. Dia dan aku bagai langit maha luas dan binatang melata. Mirip lagu-lagu cinta, aku hanya pengagum yang mampu bersenandung dengan tulisan. Matanya memiliki cahaya yang sama dengan mataku. Cahaya yang dapat kau lihat jelas pada setiap manusia yang sedang kasmaran. Cahaya kekaguman pada seseorang. Kikan menghela nafas panjang, memandang dengan takjub laki-laki yang juga mengagumi dirinya, seperti halnya dia. Pria itu luar biasa, andai saja ia memiliki secuil keberanian unttuk mendekati kikan, tentu saat ini mereka tengah berbincang ria. Pertaruhan ini sebenarnya sederhana, Kikan berada selangkah lebih maju dibanding pria pojokan. Ia lebih dulu tentang kekaguman keduanya pada diri mereka masing-masing. Seandainya pria itu tidak menulis di blognya, tentu sekarang lain soal. Kikan merasa lebih terancam daripada sebelumnya, pengetahuan tentang kekaguman pria itu menyandera dirinya, mengurung niat yang sebelumnya sederhana menjadi rumit. Ia yakin betul perempuan dalam cerita itu adalah dirinya. Hujan jatuh semakin deras tepat beberapa detik setelah Kikan selesai meneguk tetesan terakhir dari kopi hitam pekatnya. Tangan kanannya menyingkap kemeja yang menghalangi arlojinya, sebentar lagi pagi. Diliriknya pria pojokan yang masih terlungkup di balik jaket gelapnya. Kikan menyesalkan kekagumannya yang kini bermetamorfosis menjadi perasaan jijik, muak akan kepengecutan seorang yang menyandang gelar laki-laki. Kikan menyusun tekad, membelah hujan dan melampiaskan seluruh perasaannya pada titik-titik air dengan sepeda motornya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar