Rabu, 07 November 2018

MAMA

Aku membukakan pintu pada seseorang yang telah lama pergi meninggalkan rumah tua ini dan kini ia kembali pulang dengan kemeja kusutnya. Direbahkan badannya ke sofa merah tepat disebelah pot bunga hadiah almarhum suaminya. Aku sesekali melihatnya tersenyum pada foto yang terpajang indah pada tiap sudut jendela dan tertata rapi seperti 15 tahun lalu.

Ia terus tersenyum hingga nampak sebuah senyum terlebar dari sebelumnya ketika mendapati aku sedang memperhatikannya keheranan.

“Kamu persis cantiknya seperti mama kamu.” Ucapnya dengan suara seraknya namun aku hanya diam dan tak ingin merespon perkataannya. Ia sedang berusaha memulihkan kekakuan kami saat itu. Ia mulai mengambil pot bunga berwarna coklat berhias cangkang siput dan mulai mengamati kalau-kalau akan ada debu yang menempel disekitarnya.

“Pot ini juga masih terlihat cantik ya ?” Ia memulai lagi pembicaraan untuk menghentikan kebisuan diantara kami. Aku lalu memalingkan wajahku seketika, mengarahkan mataku pada sebuah pot coklat yang masih cantik nilai estetikanya walaupun telah 15 tahun bersandang pada meja kayu.

Ya 15 tahun lamanya..

Ketika ayahku terpaksa memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita yang adalah ibu kandungku sendiri. Keputusan yang seharusnya tidak perlu dilakukan akibat paksaan dari kedua orangtua ayahku lantaran menginginkan seorang cucu laki-laki untuk mewariskan keturunan suku ayahku dan hal tersebut tidak bisa dikabulkan oleh istri pertamanya sebab ia mandul.

Sekarang wanita yang pernah diceraikan ayahku berada tepat disebelah kananku. Sejak tadi ia mencari topik pembicaraan untuk memulai keheningan di ruangan ini.

“Dewi sudah memiliki pacar belum?” Tanyanya menggoda dan memulai lagi. Kali ini aku tidak sanggup menahan diri untuk menjawabnya.

“Kenapa tante datang setelah tante pergi meninggalkan Dewi dan ayah Dewi?”

Jawabku kesal tidak mampu membendung air mata yang perlahan jatuh.

“Dewi sayang.. Tante harus melakukannya. Tante tidak memiliki hak untuk tinggal bersama kalian.”

“Ayah Dewi hanya mencintai tante seorang sedangkan mama Dewi tidak pernah menginginkan Dewi sebagai anak perempuan.”

“Dewi benci harus lahir ke dunia.” Teriakku membentak wanita itu.

Wanita itu kemudian mendekatiku dan menghapus air mataku. Ia mengecup keningku dan memelukku. Aku merasakan halusnya tangan sosok wanita lembut itu yang sedang membelai rambutku.

Aku tidak pernah menemukan sosok seorang ibu pada mamaku sendiri. Mamaku bahkan lupa kapan ulang tahunku, makanan kesukaanku, tempat favoritku. Namun wanita ini yang sudah ditinggakan ayahku dengan ikhlas menahan luka untuk kebahagian oranglain. Selalu menyisihkan waktu mendengar celotehku, membantuku mengerjakan tugas sekolah, memberikan hadih tiap aku berulang tahun. Ia selalu jadi sosok ibu yang pengerti untukku, meski aku bukan dari rahimnya. Tapi rasa sayang yang ia beri selalu menjadi rasa tepat untuk ku mengaduh tentang gelapnya dunia.

Wanita ini.. Walau tidak pernah mengerti betapa sakitnya pengorbanan seorang ibu yang memperjuangkan anak-anaknya untuk lahir ke dunia namun ia mengerti bagaimana membahagiakan anak oranglain dari mantan suami yang telah menceraikannya. Sakitnya memang tidak sebanding, namun akan dirasakan sepanjang usianya.  

“Jangan pergi lagi, tante. Dewi sekarang tidak punya siapa-siapa selain tante.” Pelukku erat seolah tidak ingin ia pergi.

“Iya, sayang.. Tante janji.”

“Dewi boleh memanggil tante dengan sebutan mama?” Pintaku memohon.

Wanita itu mengangguk cepat lalu memelukku erat sambil menangis.

“Aku ingin memanggilmu mama yang selalu ada untukku meski bukan aku yang terlahir dari rahimmu.”

The end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar